Janji ini hendaknta bukan sekadar retorika, melainkan amanah yang harus diemban dengan sepenuh jiwa dan tanggungjawab.
Mentari harapan kembali merekah bagi bumi Aceh. Pertemuan antara Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, dengan Presiden Prabowo, di tanah Hambalang, telah menorehkan janji manis: kucuran dana sebesar 8 triliun rupiah.
Bila janji ini benar-benar direalisasikan, angka ini bukan sekadar deretan nol, melainkan denyut nadi baru bagi harapan pembangunan yang sekian lama tertunda. Momentum ini hadir bagai oase di tengah gurun, tepat menjelang pengesahan KUA-PPAS 2026, sebuah dokumen yang akan menjadi kompas penentu arah pembangunan Aceh ke depan.
Tanggal 14 November 2025 menjadi saksi bisu penandatanganan KUA-PPAS oleh Pemerintah Aceh dan DPRA. Mualem, sang nakhoda Aceh, tegas menyatakan bahwa dokumen ini adalah fondasi untuk merajut kembali benang-benang kesejahteraan rakyat, membangun infrastruktur yang kokoh, meningkatkan layanan dasar yang merata, dan memberdayakan ekonomi masyarakat.
Janji ini hendaknya bukan sekadar retorika, melainkan amanah yang harus diemban dengan sepenuh jiwa dan tanggungjawab.
Tapi tentunya, secercah harapan dari pusat ini tak akan berarti banyak tanpa kesiapan Aceh sendiri. Ibarat bahtera yang hendak berlayar, Aceh harus memastikan bahwa layarnya terkembang sempurna, kemudinya berfungsi dengan baik, dan awak kapalnya kompak.
Gubernur Mualem telah menyampaikan segala kebutuhan pembangunan Aceh kepada Presiden, mulai dari percepatan pembangunan jalan-jalan strategis, peningkatan konektivitas wilayah, hingga peninjauan kembali kebutuhan-kebutuhan mendesak lainnya.
Presiden Prabowo pun tak tinggal diam. Atensinya tertuju pada proyek-proyek mercusuar seperti pembangunan terowongan Geurute, pengembangan sektor perikanan, dan investasi yang akan membuka lapangan kerja baru. Dukungan ini adalah suntikan energi bagi Aceh untuk berlari lebih kencang, mengejar ketertinggalan, dan mewujudkan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan.
Tentu, di balik gemerlapnya janji dan harapan, tersimpan sebuah tantangan besar: pengelolaan anggaran yang transparan dan akuntabel.
Pemerintah Aceh harus mampu membuktikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar sampai ke tangan rakyat, bukan menguap di tengah jalan karena praktik korupsi yang merajalela.
Selain itu, partisipasi aktif dari seluruh elemen masyarakat juga menjadi kunci utama. Masyarakat Aceh harus menjadi mata dan telinga pembangunan, mengawasi setiap proyek, memberikan masukan yang konstruktif, dan memastikan bahwa program-program yang dijalankan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi mereka.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat, pengelolaan anggaran yang bersih, dan partisipasi aktif masyarakat, Aceh memiliki peluang emas untuk menuliskan babak baru dalam sejarahnya.
Momentum ini harus dimanfaatkan sebaik mungkin untuk mewujudkan Aceh yang lebih sejahtera, maju, dan berdaya saing. Inilah harapan rakyat provinsi di ujung barat Indonesia agar dapat bersinar kembali menjadi lebih terang. (*)



