Malam itu, para pemuda desa berkumpul dalam sebuah pertemuan bertajuk Harmoni Canang Kayu.
Ting…ting…tang… suara di tengah keheningan pagi yang merangkul Sungai Singkil, Kamis (13/11/2025). Alunan merdu canang kayu memecah sunyi.
Bilah-bilah kayu itu berdenting, menciptakan simfoni yang berpadu dengan tabuhan gendang, mengiringi perjalanan Tim Ekspedisi Sungai Singkil 2025. Riak sungai pun menari, mengikuti irama alam yang mengalunkan kedamaian.
Di atas kapal yang membelah sungai dari Teluk Rumbia menuju Desa Lentong, dua seniman muda, Rafliansyah dan Hendra, duduk berselonjor. Jari-jemari Rafli lincah menari di atas empat bilah canang kayu, sementara Hendra mengiringi dengan tabuhan gendang yang bersemangat. Geladak kapal itu pun bertransformasi menjadi panggung seni dadakan, di tengah keindahan sungai yang mempesona.
“Ayoho… ayoho, daanga, aho ale ale ade namiya. Ade namiya lee kisah dampeng, lae singkil mesimpang dua be kaum beak, simpang cinendang bakken sinpang soukhaya, ontahontata,” syair-syair dilantunkan, menggema di antara rimbunnya hutan rawa yang menjadi pagar alami sungai.
Rafli, anggota tim Destanada II, bukan hanya seorang seniman, tetapi juga bagian dari komunitas pemuda Singkil yang peduli akan budaya, Chinquelle.
Ekspedisi ini merupakan wujud kolaborasi apik antara Komunitas Pemuda Singkil Peduli Budaya dan BPK (Balai Pelestarian Kebudayaan) Wilayah I Aceh. Di sela-sela alunan musik, Rafli dengan penuh semangat berbagi cerita tentang canang kayu, alat musik khas Singkil yang ia mainkan.
“Ini canang kayu, alat musik tradisional Singkil yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda pada tahun 2016. Namun sayang, kini semakin sedikit orang yang mampu memainkannya,” ungkapnya dengan nada prihatin.
Setelah enam jam menyusuri Sungai Singkil yang berkelok-kelok, rombongan ekspedisi akhirnya tiba di Desa Lentong, Kecamatan Kota Baharu, Kabupaten Aceh Singkil. Denting canang kayu kembali terdengar, seolah menyambut kedatangan para penjaga warisan budaya.

Malam itu, para pemuda desa berkumpul dalam sebuah pertemuan bertajuk Harmoni Canang Kayu. Rafliansyah, seniman muda Singkil, hadir bukan hanya sebagai pemain, tetapi juga sebagai pengrajin utama canang kayu.
Dengan telaten, ia merakit sendiri alat musik tradisional itu, mulai dari memilih kayu cuping-cuping, membentuk bilah, hingga menyetel nada yang harmonis. Keahlian ini ia pelajari sejak kecil, dan terus ia kembangkan demi menjaga kelestarian canang kayu di tangan generasi muda.
Di hadapan para pemuda desa dan peserta ekspedisi, Rafli kembali mengisahkan sejarah panjang alat musik ini. Canang kayu berakar dari kehidupan para petani di masa lalu. Konon, alat musik ini dimainkan oleh para ibu di pondok sawah saat beristirahat. Bahan utamanya berasal dari kayu cuping-cuping, tumbuhan yang banyak ditemukan di sekitar area persawahan pada zaman dahulu.
“Dulu, para petani memanfaatkan apa yang ada sebagai hiburan. Kayu cuping-cuping dipotong dan dibelah, lalu jadilah canang. Yang memainkan biasanya ibu-ibu di pondok sawah, sambil berselonjoran melepas lelah,” tuturnya.
Fungsi canang kayu tidak hanya sebatas hiburan. Alat musik ini juga digunakan untuk mengusir hama burung perik yang merusak padi, serta meredakan pegal setelah seharian bekerja di sawah.
“Dulu belum ada pangkuan khusus. Canang diletakkan saja di atas kaki. Katanya, getarannya bisa mengobati rematik juga,” imbuh Rafli.
Getaran bilah canang kayu yang dipukul langsung di atas paha dipercaya dapat meredakan nyeri rematik. Cara sederhana ini menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian petani Singkil selama berpuluh-puluh tahun.
Seiring berjalannya waktu, fungsi canang kayu mengalami pergeseran. Kini, alat musik ini hadir dalam berbagai acara, mulai dari upacara pernikahan, khitanan, penyambutan tamu, hingga festival budaya.
“Saya mulai belajar canang kayu sejak umur enam tahun. Awalnya, saya kira cuma kayu biasa. Baru pada tahun 2015, saat ikut lomba kesenian di Jakarta, saya sadar bahwa canang kayu ini tidak ada di tempat lain. Sejak saat itu, saya serius melestarikannya,” jelasnya dengan penuh semangat.
Rafli kemudian melakukan berbagai pembaruan untuk memastikan canang kayu tetap hidup di hati generasi muda. Melalui komunitas Rumah Canang Kayu yang ia dirikan, ia melakukan sejumlah inovasi tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisi yang terkandung di dalamnya.
Nada tradisional yang semula hanya empat bilah kini dikembangkan menjadi lima untuk memudahkan kolaborasi dengan musik kontemporer. Resonator juga ditambahkan untuk memenuhi kebutuhan pertunjukan modern.
“Kami ingin anak-anak muda tertarik. Jika tidak diteruskan sekarang, siapa lagi yang akan melanjutkan tradisi ini?” tanyanya.

Upaya Rafli mulai membuahkan hasil. Dalam Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 2018, canang kayu yang mereka bawakan berhasil meraih Juara I. Pada tahun 2019, mereka tampil di Asian Games, memperkenalkan canang kayu kepada dunia. Sejak saat itu, canang kayu semakin dikenal dan diapresiasi.
Namun, perjalanan pelestarian canang kayu tidaklah mudah. Tantangan terbesar adalah regenerasi pemain muda dan kelangkaan bahan baku. Bilah canang kayu dibuat dari kayu cuping-cuping atau terentang putih (Campnosperma auriculatum), tumbuhan penghuni rawa yang tumbuh di area tertentu. Di Singkil, pohon ini banyak ditemukan di sekitar Suaka Margasatwa Rawa Singkil.
Kini, keberadaan kayu cuping-cuping semakin sulit ditemukan karena banyak kawasan rawa yang telah berubah menjadi perkebunan sawit.
“Cuping-cuping ini semakin langka. Mencari bahan bakunya saja sudah susah. Kalau kayunya hilang, canang kayunya juga ikut hilang,” jelasnya dengan nada khawatir.
Rafli berharap pelestarian canang kayu dapat dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pembelajaran seni di sekolah, pelatihan guru, hingga pembibitan kembali pohon cuping-cuping.
“Canang kayu sudah diakui sebagai WBTB. Namun, tanpa pemain dan tanpa bahan baku, tradisi ini bisa hilang,” pungkasnya dengan nada serius. (*)



