Minggu, Oktober 19, 2025
spot_img
BerandaEditorialAceh, Antara Kemandirian Fiskal dan Ketergantungan Pusat

Aceh, Antara Kemandirian Fiskal dan Ketergantungan Pusat

Pemangkasan dana transfer dan berakhirnya Otsus pada tahun 2027 harus menjadi momentum bagi Aceh untuk berbenah.

Pemangkasan dana transfer dari Pemerintah Pusat ke Aceh sebesar 25 persen pada tahun 2025, di tengah menyusutnya Dana Otonomi Khusus (Otsus), menempatkan provinsi ini di posisi krusial. Kondisi ini menuntut Aceh untuk segera mencari solusi inovatif demi kemandirian fiskal, tanpa mengabaikan hak-haknya sebagai daerah yang memiliki kekhususan sejarah dan budaya.

Aceh selama ini telah menikmati kucuran dana Otsus yang signifikan sejak tahun 2008, sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dana ini diharapkan menjadi modal pembangunan pasca-konflik dan tsunami, sekaligus mempercepat kesejahteraan masyarakat.

Namun, ketergantungan pada dana transfer dari pusat telah membuat Aceh terlena dan kurang optimal dalam menggali potensi Pendapatan Asli Aceh (PAA).

Wakil Ketua DPRA, Ali Basrah, secara jujur mengakui bahwa Aceh selama ini “terlalu manja” dengan keberadaan Otsus. Pengakuan ini menjadi otokritik yang konstruktif, sekaligus panggilan untuk bertindak lebih serius dalam meningkatkan PAA melalui pajak, retribusi, dan pemanfaatan sektor ekonomi lainnya.

Pemangkasan dana transfer dan berakhirnya Otsus pada tahun 2027 harus menjadi momentum bagi Aceh untuk berbenah. Langkah-langkah konkret seperti pembentukan Pansus Minerba oleh DPRA adalah sinyal positif bahwa Aceh mulai serius mengelola sumber daya alamnya secara lebih transparan dan akuntabel.

Potensi kebocoran pajak yang mencapai puluhan miliar rupiah, serta rendahnya penerimaan pajak kendaraan bermotor, adalah indikasi bahwa sistem pengelolaan keuangan daerah masih lemah dan perlu diperbaiki. Program pemutihan pajak kendaraan yang direncanakan pada November–Desember 2025 adalah langkah yang tepat, namun harus diikuti dengan upaya penegakan hukum yang tegas.

Selain mengoptimalkan penerimaan pajak, Aceh juga perlu melakukan diversifikasi ekonomi dan menarik investasi di berbagai sektor. Potensi tambang, sawit, pariwisata, dan perikanan harus dikelola secara berkelanjutan dan memberikan nilai tambah bagi daerah. Pemerintah Aceh juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif, dengan memberikan insentif bagi investor dan mempermudah perizinan.

Kemandirian fiskal bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan terhadap Aceh. Pemerintah pusat tetap memiliki tanggung jawab untuk mendukung pembangunan Aceh, terutama dalam bidang-bidang yang membutuhkan investasi besar seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Pemangkasan dana transfer yang terlalu drastis dapat menghambat pelaksanaan program pembangunan yang telah direncanakan, dan berpotensi menimbulkan gejolak sosial.

Oleh karena itu, Pemerintah Pusat perlu meninjau ulang kebijakan pemangkasan dana transfer ke Aceh, dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dan sosial yang khas di provinsi ini. Dana Otsus juga perlu diperpanjang dengan skema yang lebih adil dan berkelanjutan, sehingga Aceh memiliki cukup waktu untuk mempersiapkan diri menuju kemandirian fiskal yang sesungguhnya.

Pilihan yang diambil hari ini akan menentukan masa depan provinsi Aceh. Kemandirian fiskal adalah tujuan yang mulia, namun tidak bisa dicapai dengan instan dan tanpa dukungan dari semua pihak. Pemerintah Aceh, DPRA, masyarakat sipil, dan pemerintah pusat harus bersinergi untuk mewujudkan Aceh yang mandiri, sejahtera, dan bermartabat. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER