Senin, Oktober 13, 2025
spot_img
BerandaAcehBreaking the Chain: Saat Seniman Muda Aceh Suarakan Perlindungan Anak Lewat Seni

Breaking the Chain: Saat Seniman Muda Aceh Suarakan Perlindungan Anak Lewat Seni

Aceh Besar (Waspada Aceh) – Dalam rangka memperingati Hari Anak Perempuan Internasional yang jatuh pada 11 Oktober, sejumlah seniman muda Aceh bersama dua alumni Musawah Artists Collective (MAC) menggelar pameran bertajuk “Breaking the Chain” di Sophie’s Sunset Library, Lampuuk, Aceh Besar. Pameran berlangsung sejak 11 hingga 19 Oktober 2025.

Melalui beragam karya instalasi, fotografi, dan performans, para seniman mengajak pengunjung merefleksikan realitas anak perempuan di Aceh yang kerap terkungkung stigma dan praktik ketidakadilan, seperti pernikahan anak.

Melalui karya visual, instalasi, musik, dan diskusi, para seniman mengajak masyarakat melihat persoalan ini bukan sekadar angka, melainkan kisah nyata yang menyentuh kehidupan banyak anak perempuan.

Angka yang Mengkhawatirkan
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 menunjukkan, terdapat sekitar 1,2 juta kasus pernikahan anak di Indonesia. Satu dari sembilan perempuan berusia 20–24 tahun menikah saat masih anak-anak.

Di Aceh, tercatat 4.319 kasus, dengan sebaran tertinggi di Subulussalam, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Barat, dan Gayo Lues. Jika mengacu pada proyeksi penduduk hasil SUPAS 2015, angka absolutnya bisa mencapai 12.600 kejadian.

Padahal, menurut Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak 2020, praktik ini berdampak serius pada masa depan anak dan bangsa.

Anak perempuan yang menikah dini empat kali lebih kecil kemungkinannya menyelesaikan pendidikan menengah, lebih rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga, serta berisiko tinggi terhadap kematian ibu dan bayi.

Dari sisi ekonomi, UNICEF mencatat, pada 2014 pernikahan anak menimbulkan kerugian nasional mencapai Rp171,6 miliar, setara 1,7 persen dari PDB Indonesia.

Seni sebagai Medium Perlawanan

Pameran “Breaking the Chain” dibuka dengan diskusi bertema “Seni untuk Aktivisme”, menghadirkan dua alumni MAC Nisa Rizkya Andika dan Gevi Noviyanti bersama seniman muda Aceh, di antaranya Arifa Safura, Riska Munawarah, Rozhatul Valica, dan Sulthan Pinpin.

Diskusi yang dimoderatori Raihan Lubis ini menyoroti bagaimana karya seni dapat menjadi alat advokasi sosial dan ruang penyembuhan bagi korban kekerasan berbasis gender.

Selain diskusi, acara juga menghadirkan Mimbar Kebudayaan bersama penulis dan akademisi Raisa Kamila, serta soft launching album Atma Jejal karya Rozhatul Valica dan Oni Imelva.

Selama sepekan, rangkaian kegiatan lainnya meliputi lokakarya merangkai sirih, diskusi isu kesehatan dan perlindungan anak, dan juga pemutaran film Osama di Teater Mini BPK Wilayah I.

Pantauan di lokasi, pada Sabtu (11/10/2025) ruang pustaka itu dipenuhi pengunjung dari kalangan mahasiswa, aktivis, hingga pelajar. Mereka tak sekadar menyaksikan karya, tetapi juga membaca buku-buku bertema kesetaraan gender dan berdialog dengan para seniman tentang makna di balik setiap instalasi.

Sulthan Pinpin, menjelaskan makna karya instalasinya dalam pameran “Breaking the Chain”, Sabtu (11/10/2025). (Foto/Cut Nauval d).

Salah satu instalasi berjudul “Nyata” karya Sulthan Pinpin. Ia menampilkan kaus hijau usang yang tergantung,dari dalamnya ikut tergantung permen dan jajanan tradisional. Pada kain itu, tertulis puisi berwarna merah, menjadi bentuk protes terhadap sistem sosial yang menormalisasi kekerasan terhadap anak.

“Kaus ini menggambarkan seorang ibu rumah tangga yang banyak melewatkan tahapan hidup karena memutuskan menikah muda. Ia berbicara pada raganya yang belum lama hidup di dunia, belum lama menghirup udara, belum lama menggugah luasnya angkasa,” ujar Pinpin akrab sapaanya.

Di karya lain, Sulthan menampilkan jilbab hijau berhias manik khas Pintu Aceh, dipasang terbalik. Di depannya menempel selembar kertas bertuliskan puisi berjudul “Syaokme”—sebutan lokal untuk ungkapan kekesalan.

Bila dibalik kertas itu, muncul potongan berita dengan kata “perkosa” yang diganti “rudapaksa”. Melalui karya ini, ia mengkritik media yang kerap melunakkan bahasa kekerasan.

“Kenapa harus diganti? Biarkan saja kata ‘perkosa’ terdengar sebagaimana adanya—karena itulah kenyataannya,” katanya.

Menurut Mirisa Hasfaria, Program Manager kegiatan ini, pameran bukan hanya ajang ekspresi seni, tetapi juga panggilan untuk bertindak.

“Perayaan ini bukan sekadar pameran, tapi ajakan untuk memahami bahwa pernikahan anak adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang harus dihentikan bersama,” ujarnya.

Musawah Artists Collective (MAC) sendiri merupakan program internasional yang mendorong seniman Muslim mengusung keadilan gender dalam keluarga dan masyarakat melalui pendekatan artistik dan reflektif.

Salah satu inisiator pameran, Nisa Rizkya Andika, mengatakan seni dapat menjadi bahasa universal untuk menyentuh kesadaran publik.

“Kita ingin seni menjadi jembatan edukasi tentang bahaya pernikahan anak dan dampaknya bagi generasi mendatang,” tuturnya.

Sementara Gevi Noviyanti menilai momentum Hari Anak Perempuan Internasional perlu menjadi awal dari gerakan kolektif melindungi anak perempuan.

“Ketika kita berinvestasi pada anak perempuan, kita sedang berinvestasi pada masa depan yang lebih adil dan setara,” katanya.

Semangat itu diwujudkan dengan memutus rantai pernikahan anak melalui ekspresi seni yang menyentuh hati dan pikiran. “Kami berharap perayaan seperti ini menjadi agenda tahunan agar isu ini terus hidup di ruang publik, bukan hanya sebatas angka statistik,” tutup Mirisa. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER