Hiruk-pikuk pengunjung memenuhi aula Balai Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh pada Sabtu (26/9/2025) sore.
Di antara deretan stan UMKM, kerumunan tampak berjejal di depan rak etalase berisi kerajinan anyaman seperti tutup saji, tas jinjing, dompet, keranjang, vas bunga dan lain-lain, semuanya hasil anyaman bili atau bemban.
“Ini semua buatan tangan ibu-ibu di Lampanah,” tutur Ulfa Fitria (37), pemilik UMKM Bili Droe, sembari tersenyum melayani pembeli.
Di depan stan, seorang pengunjung bernama Mutia tampak memindai kode QRIS untuk membeli talam anyaman.
“Estetik sekali. Sekarang saya suka koleksi kerajinan dari bahan alam, lebih bernilai dan punya cerita. Bayar pakai QRIS juga lebih mudah, sudah jadi kebiasaan,” ucapnya.
BERITA TERKAIT:
11 Ribu Pengunjung Ramaikan Meuseuraya Festival, Transaksi UMKM Tembus Rp2,5 Miliar
Hampir setiap transaksi di stan itu dilakukan nontunai. Dari sekadar wadah kue, kini anyaman bili bertransformasi menjadi produk ekonomi kreatif yang menyatukan warisan tradisi dengan digitalisasi.
Bulan ini menjadi waktu paling sibuk bagi Ulfa. Pesanan datang bersamaan dengan agenda pameran. Ulfa harus bersiasat mengurus pameran dan mengontrol produksi.
Cerita Bili Droe bermula dari tradisi panjang masyarakat Lampanah, Aceh Besar. Sejak 1980-an, bili dianyam sekadar untuk kebutuhan rumah tangga.

Dulu hasil anyaman digunakan untuk keperluan sendiri, bukan dijual. Kemampuan menganyam warga diwariskan turun-temurun. Ulfa yang lahir dan besar di Lampanah sejak remaja sudah mampu menganyam.
Ulfa adalah generasi keenam perajin yang mewarisi keterampilan itu dari ibunya, pengelola kelompok Tunas Karya. Namun, saat ibunya mulai lansia, Ulfa berinisiatif mengelola kelompok usaha ini lebih serius.
“Dulu hasil anyaman hanya dipakai sendiri, tidak terpikir untuk dijual. Kalau pun dijual, pembelinya terbatas, paling lewat cerita mulut ke mulut,” kenang Ulfa.
Tahun 2016, ia memberi nama baru: Bili Droe (bili kita). Tantangan terbesar kala itu adalah pemasaran. Produk tradisional sulit bersaing dengan barang pabrikan murah.
“Kadang barang sudah jadi, tapi pembeli tidak ada,” ujarnya.
BERITA LAINNYA:
Meuseuraya Festival: Ajang UMKM Aceh Tembus Pasar Digital dan Syariah
Perubahan besar datang ketika kelompoknya dilirik Dinas Koperasi dan UMKM Aceh serta masuk dalam program Wirausaha Unggulan Bank Indonesia (WUBI). Dari sinilah titik balik dimulai.
“Berkat binaan WUBI, kami diajari mengelola usaha dengan manajemen modern, digital marketing, hingga akses permodalan. Kami juga dilibatkan dalam pameran nasional bahkan internasional,” kata Ulfa.
Kini, produk Bili Droe sudah menembus pasar Jerman, Malaysia, dan Singapura. Pesanan ekspor bahkan mulai datang dari Amerika Serikat.
Produksi Bili Droe tetap berpusat di Desa Lampanah, Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Desa itu terhubung dengan hutan Seulawah, tempat bili dipetik. Setiap helai anyaman adalah cerita tentang kearifan lokal yang ditenun menjadi identitas.
Bagi Ulfa, pendekatan syariah juga memberi nilai tambah. Setiap transaksi ia catat transparan, mulai dari modal, keuntungan, hingga zakat usaha.
“Ini membuat usaha lebih berkah. Orang membeli bukan hanya karena produk, tapi karena ada nilai kebaikan di dalamnya,” katanya.
BERITA LAINNYA:
BI Aceh Gandeng UMKM dan Komunitas di Meuseuraya Festival 2025
Meuseuraya Festival, Panggung UMKM Unjuk Inovasi dan Kreativitas
Meuseuraya Festival 2025 menjadi panggung besar bagi UMKM Aceh untuk menunjukkan inovasi dan kreativitas.
Digelar di Balai Meuseuraya Aceh (BMA) Banda Aceh pada 24-28 September 2025 mengusung tema “Kolaborasi Meningkatkan Daya Saing Aceh melalui Ekonomi dan Keuangan Syariah yang Inklusif, Digital, dan Berkelanjutan”, festival ini bukan sekadar pameran dagang.
Festival itu menghadirkan ruang kolaborasi yang menghubungkan pelaku usaha, pemerintah, lembaga keuangan, hingga komunitas kreatif.
Acara yang menghadirkan lebih dari 17 agenda utama ini diikuti 120 UMKM, 11 perbankan, dan lima instansi pemerintah daerah. Dari ekspo, bazar, hingga kompetisi kreatif, seluruh rangkaian dirancang untuk menghubungkan pelaku usaha dengan ekosistem keuangan syariah.
BERITA LAINNYA:
Aceh Dorong Hilirisasi UMKM Syariah, BI Angkat Isu Global Halal Value Chain
Festival mencatat transaksi hampir Rp2,5 miliar dengan lebih dari 70 ribu pembayaran non-tunai melalui QRIS. Program wakaf produktif Pojok Berkah menghimpun Rp44,45 juta, sementara forum business matching menyalurkan pembiayaan perbankan hingga Rp1,45 miliar.
“Festival ini bukan hanya agenda tahunan, melainkan momentum memperkuat ekosistem ekonomi syariah sekaligus menampilkan budaya Aceh sebagai bagian dari ekonomi kreatif,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Aceh, Agus Chusaini saat penutupan acara, Minggu (28/9/2025) malam.

Suasana festival kian semarak dengan lomba tari Ratoh Jaroe, nasyid Islami, talk show ekonomi syariah, hingga Aceh Fashion Collaboration. Sebanyak 744 peserta ambil bagian dalam kompetisi edukatif, dan lebih dari 5.000 orang terlibat dalam aktivasi komunitas.
Kepala Asisten II Sekda Aceh Zulkifli, menyebut festival memberi kontribusi nyata bagi literasi ekonomi masyarakat sekaligus mendorong hilirisasi UMKM agar siap bersaing di pasar halal global.
Bagi Ulfa, festival ini menjadi pintu pembuka. “Dulu saya hanya menjual di kampung, sekarang bisa kirim ke luar negeri. Festival ini membuka jalan. Harapan saya, acara seperti ini terus ada, supaya UMKM Aceh benar-benar bisa naik kelas,” ujarnya.
Meuseuraya Festival 2025 bukan sekadar pameran ekonomi, tapi ruang nyata di mana warisan indatu seperti anyaman bili menemukan pasar global. Dengan digitalisasi dan ekosistem syariah, UMKM Aceh perlahan menulis babak baru dalam perekonomian berbasis budaya dan inovasi. (*)