Rabu, Oktober 1, 2025
spot_img
BerandaEditorialKetika Tindakan Gubernur Bobby Ancam Harmoni Aceh-Sumut

Ketika Tindakan Gubernur Bobby Ancam Harmoni Aceh-Sumut

Tak ada angin tak ada hujan, mengapa Bobby memilih memantik perhatian publik lewat kebijakan yang bisa membahayakan kesatuan berbangsa dan bernegara?

Kebijakan Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) Bobby Nasution terkait razia kendaraan berplat BL (Aceh) telah menyulut api kemarahan. Reaksi yang tak terhindarkan mengingat dampaknya yang meresahkan dan berpotensi merobek tenunan persaudaraan.

Tindakan ini bukan hanya sekadar kebijakan yang dipertanyakan legalitasnya, tetapi juga sebuah ancaman nyata yang dapat meruntuhkan jalinan hubungan harmonis yang telah lama terjalin antara masyarakat Aceh dan Sumatera Utara.

Ketua PeTA Aceh, T. Sukandi, dengan nada prihatin yang mendalam, menyatakan bahwa tindakan Bobby Nasution dapat memicu konflik yang lebih dahsyat, sebuah mimpi buruk yang menghantui setiap warga yang mendambakan perdamaian. Sukandi bahkan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera turun tangan mengatasi situasi yang genting ini. Razia plat BL tanpa dasar hukum yang jelas, menurutnya, adalah tindakan “abnormal” yang berpotensi memecah belah persatuan, sebuah luka menganga yang dapat merobek keutuhan bangsa.

Senada dengan Sukandi, Senator Aceh, Sudirman Haji Uma, melontarkan kritik pedas yang menggema terhadap langkah Bobby Nasution. Ia menilai tindakan tersebut sebagai luapan emosi yang tak terkendali dan tendensius, sebuah penilaian yang didasarkan pada kurangnya koordinasi dan sosialisasi sebelum razia digelar. Bobby Nasution terlebih dahulu membuka diri untuk berdialog, melakukan koordinasi antar pemerintah daerah, dan mengintensifkan sosialisasi agar tidak menimbulkan kesalahpahaman yang berujung pada perpecahan.

Razia yang menyasar kendaraan plat BL yang melintas untuk pengangkutan barang atau penumpang lintas daerah dinilai tidak realistis dan tidak memiliki dasar hukum yang kuat, sehingga menimbulkan pertanyaan besar tentang motif tersembunyi di balik kebijakan yang kontroversial ini.

Tidak hanya dari kalangan politisi, gelombang kritik juga datang dari organisasi masyarakat sipil yang peduli akan nasib bangsa. Direktur Eksekutif Gerakan Srikandi Aceh Bangkit (GeuSABA), Siti Maryam Bt Ali Nordin, dengan tegas menilai kebijakan ini sebagai tindakan diskriminatif, arogan, dan melecehkan Aceh, sebuah penghinaan yang tak dapat diterima.

GeuSABA bahkan mengusulkan langkah-langkah konkret sebagai respons terhadap kebijakan yang menyakitkan ini, seperti menutup total jalur ekonomi Aceh ke Sumut, menghidupkan kembali pelabuhan Aceh, dan menguatkan identitas Aceh melalui penggunaan plat BL secara masif, sebuah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan.

Ironi yang menyayat hati adalah kebijakan razia plat BL ini dilakukan di tengah upaya pemerintah untuk mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Alih-alih merajut kembali ikatan persaudaraan yang mulai renggang, tindakan ini justru menciptakan sentimen negatif yang semakin memperlebar jurang pemisah antara Aceh dan Sumatera Utara, sebuah tragedi yang tak seharusnya terjadi.

Bobby Nasution, sebagai seorang pemimpin daerah yang seharusnya menjadi teladan, semestinya lebih bijaksana dalam mengambil kebijakan. Ia seharusnya mempertimbangkan dengan seksama setiap dampak sosial, ekonomi, dan hukum yang mungkin timbul akibat kebijakannya. Alih-alih melakukan razia yang kontroversial dan berpotensi memecah belah, lebih baik fokus pada peningkatan PAD Sumut melalui cara-cara yang lebih konstruktif dan tidak merugikan pihak lain. Misalnya, dengan menggali potensi pajak dari sektor-sektor lain melalui Perda tentang Pungutan Pajak Minuman Keras, Pajak Hiburan, dan sebagainya, solusi yang lebih elegan dan bermartabat.

Sebagai pemimpin daerah, Bobby Nasution mengemban tanggung jawab besar untuk menjaga harmoni dan persatuan antar masyarakat. Kebijakan yang memicu kontroversi dan berpotensi memecah belah hanya akan merusak citra daerah dan menghambat pembangunan yang berkelanjutan, sebuah konsekuensi pahit yang harus dihindari dengan sekuat tenaga.

Namun, harapan akan perubahan tampaknya semakin menipis. Anggota Komisi III DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil, dengan nada geram menilai tindakan Bobby sebagai ancaman nyata bagi keharmonisan antarwilayah di Indonesia, sebuah alarm yang seharusnya menyadarkan semua pihak.

“Cabut kebijakan itu segera! Tanya ke Bobby, STNK itu produk nasional atau daerah? Kalau tidak paham, jangan bikin gaduh! Komisi III mendesak polisi menangkap Bobby karena kebijakan itu berpotensi mengganggu keamanan dan ketertiban umum,” tegas politisi PKS itu dengan suara lantang, sebuah seruan yang menggema di seluruh penjuru Aceh.

Nasir menekankan bahwa jalan dibangun dengan APBN dan APBD dari uang rakyat, sehingga tidak boleh ada diskriminasi terhadap siapapun. “Ada uang rakyat di semua ruas jalan Indonesia! Gubernur tidak boleh bertindak seenaknya membenturkan masyarakat Aceh dan Sumut,” ujarnya dengan nada berapi-api, sebuah peringatan keras yang tak boleh diabaikan.

Tak ada angin tak ada hujan, mengapa Bobby memilih memantik perhatian publik lewat kebijakan yang bisa membahayakan kesatuan berbangsa dan bernegara? Adakah agenda seting di balik kebijakan tak populer ini?

Atau untuk mengalihkan perhatian kasus nasional yang terus menyerang mertuanya dan adik iparnya soal isu ijazah, dan isu lainnya? Entah lah.

Kini, nasib hubungan Aceh dan Sumatera Utara berada di ujung tanduk. Apakah Bobby Nasution akan mendengarkan seruan nurani dan menghentikan kebijakan yang meresahkan ini? Ataukah ia akan terus membiarkan api konflik berkobar dan menghancurkan segala yang telah dibangun dengan susah payah?

Waktu akan menjawab, namun satu hal yang pasti, sejarah akan mencatat bahwa di saat-saat genting seperti ini, seorang pemimpin diuji keberanian dan kebijaksanaannya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER