Kegiatan hulu migas di Aceh tak hanya menyumbang energi dan pendapatan, tetapi juga berdampak langsung bagi ekonomi masyarakat.
Dua dekade pasca damai dan tsunami, Aceh masih bergulat dengan kemiskinan dan ketertinggalan ekonomi. Temuan gas raksasa di perairan Andaman memberi harapan kebangkitan, bukan hanya sebagai sektor energi, tetapi juga untuk lapangan kerja, investasi, dan UMKM.
“Kehadiran industri migas bukan sekadar soal ekstraksi energi. Ini adalah peluang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, membuka lapangan kerja, hingga memperkuat UMKM lokal,” ujar Dian Budi Dharma, Kepala Bidang Minyak dan Gas Bumi Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh kepada Waspadaaceh.com, Kamis (25/9/2025).
Sektor hulu migas di Aceh menunjukkan peran penting dalam mendorong pembangunan daerah. Pada 2024, wilayah kewenangan Aceh mencatat lifting minyak bumi sebesar 1.440.026 barel dan lifting gas bumi mencapai 17.852.484 MMBTU.
Memasuki 2025, hingga Triwulan II, capaian lifting minyak bumi tercatat 640.401,22 barel atau 44,67% dari target APBN, sementara lifting gas bumi mencapai 9.881.535,31 MMBTU atau 53,03% dari target.
Keberhasilan ini juga diikuti peningkatan partisipasi kontraktor lokal yang semakin aktif terlibat dalam berbagai proyek hulu migas, memperkuat dampak ekonomi dan lapangan kerja bagi masyarakat Aceh.
Keberadaan 12 Wilayah Kerja (WK) Migas di Aceh, termasuk 7 WK Eksplorasi dan 5 WK Produksi, menunjukkan sektor ini memberi efek luas: dari penerimaan daerah melalui Dana Bagi Hasil (DBH) dan Tambahan DBH Migas, signature bonus, dividen PT PEMA, hingga serapan tenaga kerja lokal dan penguatan usaha penunjang
“Selain itu, sektor ini juga menyerap tenaga kerja lokal, memanfaatkan barang dan jasa dalam negeri, dan memberi efek positif pada usaha penunjang serta pembangunan infrastruktur,” jelasnya.
Dian juga mengatakan potensi gas bumi Aceh dinilai masih menjadi andalan dalam bauran energi nasional hingga 2050. Karena itu, pemerintah Aceh berharap keberadaan industri migas, mampu memberi dampak signifikan bagi pertumbuhan ekonomi daerah.

Menurut Dian gas bumi lebih melimpah dibanding minyak bumi di Aceh. Namun, tanpa hilirisasi, manfaatnya bagi masyarakat tidak akan maksimal.
Kegiatan hulu migas di Aceh tak hanya menyumbang energi dan pendapatan, tetapi juga berdampak langsung bagi ekonomi masyarakat. Dian menjelaskan, perusahaan migas yang beroperasi di wilayah Aceh aktif melaksanakan program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan (TJSLP/CSR).
Program ini mencakup pelatihan vokasi, magang bagi lulusan lokal, beasiswa untuk siswa berprestasi, pelayanan kesehatan, bantuan pasca bencana, pembangunan fasilitas umum, pengembangan UMKM, hingga program ketahanan pangan. Selain itu, perusahaan migas juga membuka kesempatan kerja bagi putra-putri Aceh melalui penyerapan tenaga di berbagai Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Babak Baru Gas Andaman
Salah satu proyek yang tengah mencuri perhatian adalah Blok South Andaman, dikelola Mubadala Energy dari Uni Emirat Arab. Temuan gas jumbo di sumur Layaran-1 (6 TCF) dan Tangkulo-1 (8 TCF) menjadikan Aceh sebagai kawasan strategis migas di Asia Tenggara.
Potensi migas di Blok South Andaman sangat besar, diperkirakan mencapai total 8 triliun kaki kubik (TCF) gas-in-place.
ditargetkan akan produksi pada 2028 mendatang.
Potensi ini bukan sekadar memenuhi kebutuhan energi nasional, tetapi juga membuka peluang ekspor dan multiplier effect bagi perekonomian lokal.
Guru Besar Universitas Syiah Kuala, Prof. Mukhlis Yunus mengatakan kehadiran industri hulu minyak dan gas (migas) dinilai memiliki potensi besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh.
Namun, manfaatnya akan sangat bergantung pada sejauh mana penciptaan nilai tambah dilakukan di daerah, bukan hanya sebatas eksploitasi sumber daya.
“Kalau nilai tambahnya dilakukan di Aceh, dampaknya akan jauh lebih cepat dirasakan. Masyarakat jangan hanya jadi penonton megaproyek. Mereka harus dilibatkan, baik sebagai tenaga kerja maupun kegiatan pendukung lainnya,” ujarnya.
Ia mencontohkan pengalaman masa lalu, ketika Aceh memiliki proyek LNG Arun di Lhokseumawe. Meski besar, dampaknya bagi masyarakat lokal terbatas karena banyak proses lanjutan justru dilakukan di luar Aceh. Hal serupa juga dikhawatirkan terjadi pada rencana eksplorasi dan eksploitasi migas di Laut Andaman.
“Kadang pengolahannya langsung di laut lalu dikapalkan. Harusnya ada kontrol sejak awal agar penciptaan nilai tambah juga terjadi di Aceh,” tambahnya.
Akademisi itu menekankan, perusahaan besar yang beroperasi di Aceh perlu memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan ekonomi masyarakat sekitar. Jika tidak, dikhawatirkan akan timbul kesenjangan dan ketidakstabilan sosial.
Menurutnya, regulasi dan posisi tawar Pemerintah Aceh juga menjadi kunci.
“Jangan sampai masyarakat Aceh hanya jadi penonton eksplorasi sumber daya alamnya sendiri,” tegasnya.
Dukung UMKM dan Peluang Kerja
Keterlibatan lokal menurut Mukhlis Yunus bisa dilakukan dengan memanfaatkan jasa dan produk UMKM Aceh, seperti katering, transportasi, penginapan untuk pekerja proyek dan kebutuhan lainnya.
Selain itu proyek ini jadi ajang pelatihan vokasi dan magang bagi tenaga muda juga meningkatkan kapasitas SDM, sehingga mereka siap menjadi subkontraktor atau penyedia jasa proyek. Dengan cara ini, manfaat proyek migas tak hanya masuk ke pemerintah lewat Dana Bagi Hasil, tetapi juga memperkuat ekonomi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan UMKM.
Sehingga keberadaan proyek migas akan memberikan efek ganda bagi kesejahteraan masyarakat Aceh.
Lebih jauh, ia menilai potensi migas dapat menjadi sandaran ekonomi Aceh di masa depan, terutama setelah berakhirnya dana otonomi khusus (Otsus) pada 2028 mendatang.
“Ketergantungan pada dana otsus membuat kita kurang kreatif. Kalau industri hulu migas diolah di sini, tenaga kerja lokal dilibatkan, dan sebagian hasilnya masuk ke pemerintah daerah, itu bisa mengurangi ketergantungan kita,” jelasnya.
Berdasarkan regulasi, bagi hasil migas antara Pemprov Aceh dan pemerintah pusat telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Bumi Bumi di Aceh.
Untuk pendapatan migas pada wilayah produksi di darat dan di bawah 12 mil laut, Aceh mendapatkan bagian 70 persen, sedangkan pemerintah pusat 30 persen. Adapun untuk wilayah produksi di atas 12 mil laut, Aceh berhak mendapatkan 30 persen dan pemerintah pusat 70 persen.
Dilansir dari infomigas.id, untuk tahun anggaran 2025, Pemerintah Aceh menerima Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Migas sebesar Rp100,03 miliar. Angka ini meningkat dibandingkan alokasi 2024, namun turun drastis dari Rp252,67 miliar yang diterima pada 2023.
Pemerintah daerah pun terus mendorong strategi untuk menarik investasi migas baru serta memaksimalkan ekonomi lokal dan UMKM dari keberadaan industri ini, agar dampak ekonomi tetap terasa meski DBH menurun.
Dukungan Pemerintah Aceh dan Investor
Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), menerima kunjungan Presiden Direktur Mubadala Energy dan pimpinan SKK Migas di Pendopo Gubernur, Rabu (16/7/2025). “Proyek ini akan berdampak besar bagi Aceh, mulai lapangan kerja, investasi, hingga penguatan sektor energi,” kata Mualem.
Pemerintah Aceh menegaskan akan menciptakan iklim investasi kondusif sekaligus memastikan manfaat langsung bagi masyarakat.
Abdulla Bu Ali, Presiden Direktur Mubadala Energy Indonesia, menyatakan perusahaan hadir bukan hanya untuk eksplorasi energi, tetapi juga berkontribusi nyata bagi kesejahteraan masyarakat. “Insya Allah, proyek ini akan membawa manfaat luas,” ujarnya.

Aceh Genjot Hulu Migas
Pemerintah Aceh bersama Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA), berdasarkan PP Nomor 23 Tahun 2015, terus berupaya menciptakan iklim investasi menarik dan kepastian regulasi untuk mengelola hulu migas di Aceh.
BPMA mendorong insentif bagi investor, memastikan transparansi data dari pemerintah pusat, dan mendukung pemanfaatan gas bumi melalui kerja sama dengan PGN, penyaluran ke konsumen akhir, regulasi hilirisasi, serta pembangunan infrastruktur seperti sambungan gas rumah tangga (jargas).
Namun, pengembangan hulu migas di Aceh menghadapi sejumlah tantangan: Wilayah Kerja (WK) Rantau masih dikelola SKK Migas, sebagian sumur tua menyebabkan penurunan produksi, maraknya sumur ilegal, dan kebutuhan kepastian regulasi bagi investor.
PT Pema juga dilibatkan sebagai mitra strategis untuk mendukung pembangunan infrastruktur energi dan operasional Carbon Capture Storage (CCS), memperkuat multiplier effect proyek ini bagi Aceh.
Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah Aceh dan ESDM Aceh telah menempuh beberapa langkah: meminta alih kelola WK Rantau ke BPMA; mendorong KKKS meningkatkan produksi untuk mendukung target nasional 1 juta barel/hari; menangani sumur masyarakat dan sumur tua melalui inventarisasi sesuai Permen ESDM; menyusun Rancangan Qanun Aceh tentang Pertambangan Migas; serta mendukung PT Pema Global Energy dalam operasi penyimpanan karbon di WK “B.
Dengan strategi ini, Aceh berharap sektor hulu migas tidak hanya menjadi sumber energi, tetapi juga penggerak ekonomi dan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan. (*)