Banda Aceh (Waspada Aceh) – The Aceh Institute merilis policy paper terbaru berjudul “Perpanjangan Dana Otonomi Khusus Aceh: Menuju Tata Kelola Baru untuk Perdamaian Berkelanjutan dan Pembangunan Pasca-Konflik”.
Dokumen ini menyoroti urgensi perpanjangan Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang akan berakhir pada 2027, sekaligus pentingnya pembentukan badan khusus yang independen dan profesional untuk mengelolanya.
Policy paper ini ditujukan kepada para pemangku kebijakan, baik di tingkat nasional maupun Provinsi Aceh, sebagai dasar pertimbangan dalam merumuskan kebijakan fiskal ke depan.
The Aceh Institute mencatat, sejak 2008 hingga kini Aceh telah menerima lebih dari Rp95,9 triliun dana otsus. Namun, alokasi penggunaan masih belum optimal mendorong pertumbuhan ekonomi. Sekitar 45 persen dana digunakan untuk infrastruktur, sementara pemberdayaan ekonomi rakyat hanya mendapat porsi 10 persen. Akibatnya, dampak pengganda terhadap ekonomi relatif kecil.
Dengan angka kemiskinan Aceh yang masih 12,33 persen (BPS, 2025), perpanjangan Dana Otsus dinilai sangat penting sebagai penyangga fiskal sekaligus instrumen perdamaian jangka panjang.
“Masalah lain adalah ketika dana otsus larut dalam mekanisme APBA/APBK, sehingga terpecah ke ratusan kegiatan kecil yang tidak memberikan dampak signifikan,” tulis The Aceh Institute dalam policy paper yang diterima Waspadaaceh.com, Sabtu (20/9/2025).
Karena itu, policy paper ini menawarkan sejumlah rekomendasi kebijakan strategis. Pertama, Dana Otsus Aceh harus diperpanjang dengan prinsip berkelanjutan sebagaimana Papua yang telah memperoleh 2,25 persen dari DAU Nasional hingga 2041.
Kedua, dibentuk Badan Khusus Pengelola Dana Otsus Aceh dengan model tata kelola meniru keberhasilan BRR Aceh-Nias pasca-tsunami. Badan ini harus memiliki dewan pengawas yang melibatkan unsur pemerintah, DPRA, akademisi, dan masyarakat sipil, serta dipimpin manajemen profesional melalui seleksi terbuka.
Ketiga, orientasi penggunaan dana harus bergeser dari konsumtif ke investasi produktif melalui pembangunan sektor unggulan seperti pertanian modern, perikanan, industri pengolahan, energi terbarukan, serta penguatan dunia usaha.
Keempat, penyusunan peta jalan kemandirian fiskal Aceh untuk mengurangi ketergantungan terhadap transfer pusat, dengan fokus pada peningkatan PAD, reformasi birokrasi perizinan, dan penciptaan iklim investasi yang kondusif.
“Dana Otsus tidak boleh lagi dipandang hanya sebagai instrumen belanja, melainkan harus dijadikan modal abadi pembangunan Aceh.”
“Keberlanjutan perdamaian sangat terkait dengan keberhasilan mengubah dana ini menjadi investasi produktif yang menciptakan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan memperkuat kemandirian ekonomi daerah,” tulis tim perumus dalam policy paper tersebut.
Policy paper ini disusun melalui kajian literatur, analisis data sekunder, FGD bersama pembina dan analis The Aceh Institute, serta wawancara dengan pemangku kepentingan. Tim penyusun terdiri dari akademisi, peneliti, dan aktivis Aceh, antara lain Prof Dr Nazamuddin Basyah Said, Dr Fuad Mardhatillah, Dr Otto Syamsuddin Ishak, Dr Saiful Mahdi, Lukman Age, Risman A. Rahman, Tarmizi, Dr Fajran Zain, Prof Dr Saiful Akmal, Dr Chairul Fahmi, Muazzinah Yacob, Dr Muhammad Syuib, dan Cut Famelia.
The Aceh Institute berharap wacana publik mengenai masa depan Dana Otsus Aceh semakin konstruktif, serta pemerintah pusat maupun daerah dapat mengambil langkah kebijakan yang tepat demi mewujudkan perdamaian berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Sudah Terima Dana Otsus Rp100 Triliun
Diketahui, Aceh hingga saat ini telah menerima kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) hampir Rp100 triliun. Bukan jumlah yang sedikit. Namun, ironi mencolok: kemiskinan tetap menghantui provinsi paling ujung di Sumatera ini.
Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan tepat menyoroti akar masalahnya: ketidakadilan ekonomi. Revisi UU Pemerintahan Aceh menjadi momentum krusial untuk mengurai benang kusut ini.
Perpanjangan dana Otsus yang diusulkan JK harus diiringi evaluasi ketat. Pertanyaan mendasar: ke mana dana itu mengalir? Apakah dinikmati segelintir elite, atau benar-benar menyentuh akar rumput? Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci dalam penggunaan dana Otsus tersebut.
Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh memang mencatat angka kemiskinan di Provinsi Aceh turun dari 14,23 persen pada Maret 2024 menjadi 12,64 persen pada September 2024.
Penurunan sebesar 1,59 persen ini merupakan yang tertinggi dalam empat tahun terakhir sejak 2019.
Saat ini setidaknya masih ada 718.960 orang yang harus dibantu untuk keluar dari kemiskinan. Untuk itu pemanfaatan dana Otsus harus tepat sasaran. (*)