Banda Aceh (Waspada Aceh) – Indonesia dinilai belum memiliki fondasi yang kokoh untuk menghadapi ancaman perang siber.
Fragmentasi regulasi, ketergantungan pada teknologi asing, hingga lemahnya diplomasi digital membuat posisi Indonesia masih rentan di tengah persaingan global.
hingga ketergantungan pada teknologi asing membuat negeri ini rawan menjadi “koloni digital” negara-negara besar.
Peringatan itu disampaikan akademisi Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Dr. Bedi Budiman, saat mengisi kuliah umum di Program Magister Damai dan Resolusi Konflik, Sekolah Pascasarjana Universitas Syiah Kuala (USK), Jumat (13/9/2025).
Acara bertajuk “Menakar Kesiapan Negara di Era Cyberwarfare dari Perspektif Geopolitik” itu membedah peta kerentanan Indonesia di era perang siber.
“Indonesia saat ini masih berada pada posisi rentan, bahkan cenderung menjadi ‘koloni digital’ negara-negara besar. Negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Jepang, hingga Korea Selatan sudah bergerak cepat memperkuat dominasi di ruang siber. Kalau tidak berbenah, kita hanya akan jadi konsumen, bukan pemain,” kata Bedi.
Menurutnya, ketiadaan undang-undang khusus keamanan siber membuat tata kelola ruang digital Indonesia berjalan tanpa fondasi yang kokoh. Regulasi yang tersebar di banyak kementerian dan lembaga tanpa koordinasi yang solid justru memperlemah kesiapan negara menghadapi ancaman serangan siber.
Tak hanya itu, diplomasi siber Indonesia di tingkat global pun disebut masih lemah. Padahal, kontestasi geopolitik dan geoekonomi kini tak hanya terjadi di darat dan laut, tetapi juga di jagat maya.
“Keamanan siber bukan isu teknis semata, tapi bagian dari strategi geopolitik. Indonesia butuh payung hukum yang jelas agar tidak tertinggal,” tegasnya.
Pihak Magister Damai dan Resolusi Konflik USK menilai penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keamanan Siber tak bisa lagi ditunda. Selain memperkuat pertahanan digital di tingkat nasional, literasi siber di daerah juga perlu dipacu agar kesenjangan pemanfaatan teknologi tidak kian melebar.
Kuliah umum ini sekaligus menjadi ruang bagi mahasiswa pascasarjana untuk memahami bagaimana keamanan digital terhubung dengan politik global.
Harapannya, lahir generasi akademisi dan praktisi yang tidak hanya melek teknologi, tetapi juga mampu membaca arah geopolitik dunia siber. (*)



 
                                    