Rabu, September 10, 2025
spot_img
BerandaAcehInong Project: Menghidupkan Sejarah dan Suara Perempuan Aceh Lewat Seni

Inong Project: Menghidupkan Sejarah dan Suara Perempuan Aceh Lewat Seni

Aceh Besar (Waspada Aceh) – Seni bisa menjadi ruang bicara, sekaligus cermin sejarah dan realitas sosial. Inong Project bertajuk From Woman to Woman menghadirkan narasi itu melalui kolaborasi tiga seniman Aceh: Riska Munawarah, Arifa Safura, dan Zikra.

Pameran yang digelar di Rumah Cut Nyak Dhien, Lampisang, Aceh Besar, sejak 6 hingga 9 September, tidak hanya menampilkan karya visual.

Pada sesi penutupan, Selasa (9/9/2025) para pengunjung mendapat kesempatan menyimak sharing session jurnalis perempuan. Nurul Hasanah membagikan pengalaman liputan karya foto story bertajuk We Save “Here”, liputan tentang rumah aman bagi penyintas kekerasan seksual di Aceh Barat.

Sementara Wahyu Majiah menampilkan foto story bertajuk Gen Z Mom’s, yang mengangkat pengalaman ibu muda generasi Z. Foto-fotonya merekam perjuangan mereka menghadapi stigma sosial dan membangun pola asuh sehat.

Usai menyimak sharing session, saya berkeliling melihat karya foto Rizka Munawarah. Setiap jepretannya menampilkan perempuan Aceh dalam keseharian dan momen reflektif, seolah menyampaikan narasi yang tak terdengar melalui kata-kata.

Dari pengamatan itu, Riska menjelaskan bahwa identitas perempuan Aceh tidak pernah tunggal. “Dari empat sultanah yang memimpin Kesultanan Aceh abad ke-17 hingga konstruksi perempuan Saleha saat ini, perempuan Aceh terus menavigasi tarik-menarik wacana. Generasi sekarang menanggung beban ganda: menjaga tradisi religius dan merespons arus global tentang kesetaraan dan ekspresi kreatif,” ujarnya.

Di Museum Rumah Cut Nyak Dhien, saya melihat lukisan Arifa Safura yang menampilkan Cut Nyak Dhien. Arifa menjelaskan melalui karyanya Cut Nyak Dhien terus ditafsir dari berbagai arah feminis kolonial, visi nasional, hingga Islam lokal. Namun, melalui jejak yang Ia temukan lewat disertasi Myra Mentari Abu Bakar, jelas bahwa narasi pahlawan perempuan kerap dibentuk untuk melayani politik patriarki.

“Karena itu, saya memilih menyusuri ingatan tubuh perempuan Aceh, korban konflik, inong bale, janda, hingga anak-anak. Di sanalah saya merasakan Cut Nyak Dhien hidup di setiap urat nadi inong.
Dari pengalaman ketubuhan itulah lahir lukisan tanoh tubuh, imata darah, ngonyawong,” tuturnya.

Sebelumnya, Sabtu (6/9/2025), semangat kepahlawanan Cut Nyak Dhien dihidupkan kembali melalui monolog Tubuh yang Tak Pernah Takluk. Disutradarai Nazar Syah Alam dan diperankan Zikrayanti, pertunjukan ini menekankan tubuh sebagai medium menyampaikan trauma, keteguhan, dan perlawanan. Pementasan mengubah rumah bersejarah itu menjadi ruang refleksi kebudayaan dan perjuangan, sekaligus menyuarakan narasi perempuan dalam sejarah dari perspektif berbeda.

Sementara itu, para pengunjung tampak menyusuri setiap sudut ruang, menatap karya-karya yang dipamerkan dengan seksama. Putri, salah satu pengunjung, mengatakan, “Banyak insight baru dari pameran ini. Saya jadi lebih memahami peran perempuan Aceh dalam sejarah dan tantangan yang mereka hadapi di era modern.”

Menurutnya, kegiatan ini membuka ruang dialog kritis, mengajak pengunjung menelisik peran perempuan Aceh dalam sejarah, budaya, dan kehidupan modern, sekaligus mendorong refleksi atas isu sosial yang masih relevan hingga hari ini. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER