MUI tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga memperkuat landasan yuridis melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Di tengah pusaran waktu dan perubahan zaman, upaya pengembalian Tanah Wakaf Blang Padang di Banda Aceh memasuki babak baru yang masih dinanti rakyat Aceh implementasinya.
Dukungan penuh kini datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat kepada Nazir Wakaf Masjid Raya Baiturrahman. Ini bukan sekadar angin segar, melainkan gelombang besar yang membantu upaya pengembalian hak dan martabat tanah yang diwakafkan untuk kemaslahatan umat. Dukungan MUI ini tertuang dalam surat resmi bernomor B-3025/DP-MUI/VIII/2025, menjadi penanda krusial dalam perjalanan pengembalian tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman.
Keputusan ini tidak hanya diharapkan membawa kemaslahatan bagi umat, tetapi juga memastikan keberlanjutan fungsi masjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh.
Dalam surat rekomendasinya, MUI tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga memperkuat landasan yuridis melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Undang-undang ini dengan jelas melarang segala bentuk pengalihan atau perubahan status harta benda wakaf.
Sekretaris Jenderal MUI, Amirsyah Tambunan, menegaskan bahwa MUI akan terus berperan aktif dalam menjaga kemurnian fungsi tanah wakaf, memastikan bahwa aset tersebut tetap memberikan manfaat sesuai dengan tujuan awalnya.
Inisiatif serupa juga sebelumnya datang dari Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, yang telah mengambil langkah proaktif dengan mengirimkan surat kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat tersebut berisi permohonan resmi agar Blang Padang ditetapkan sebagai tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman.
Mualem menyoroti fakta bahwa Kodam Iskandar Muda telah menguasai lahan tersebut selama dua dekade terakhir. Untuk mengatasi permasalahan ini, ia mengusulkan empat langkah strategis yang mencakup penetapan kembali status wakaf, pengembalian pengelolaan kepada nazhir masjid, sertifikasi wakaf, serta mediasi lintas lembaga yang transparan.
Dari perspektif akademis, Dr. M. Jafar dari Universitas Syiah Kuala pernah memberikan pandangan mendalam mengenai pentingnya melihat sengketa ini dari dua sisi, yaitu aspek historis dan yuridis. Meskipun tidak ada sertifikat kepemilikan yang jelas, bukti sejarah memiliki kekuatan hukum yang kuat.
Arsip peninggalan kolonial Belanda dan berbagai catatan sejarah dengan tegas menyatakan bahwa Blang Padang diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk Masjid Raya. Arsip ini dan catatan ini semakin memperkuat status lahan Blang Padang sebagai tanah wakaf yang sah.
Dengan demikian, pengembalian Tanah Wakaf Blang Padang bukan sekadar menyelesaikan persoalan hukum dan administrasi. Lebih dari itu, ini adalah upaya untuk melestarikan amanah sejarah dan menghormati nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Aceh. Langkah ini diharapkan dapat memperkokoh posisi Masjid Raya Baiturrahman sebagai pusat peradaban Islam dan simbol perjuangan rakyat Aceh.
Semoga upaya ini segera membuahkan hasil yang adil, damai, dan bermartabat, demi kepentingan umat serta keberlanjutan warisan sejarah Aceh yang tak ternilai harganya. Semoga. (*)