Selasa, Agustus 19, 2025
spot_img
BerandaAceh20 Tahun Damai Aceh dan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI: Perempuan Akar Rumput...

20 Tahun Damai Aceh dan HUT Ke-80 Kemerdekaan RI: Perempuan Akar Rumput Bersuara

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dua dekade perdamaian Aceh dan delapan dekade kemerdekaan Indonesia menjadi momentum penting bagi perempuan akar rumput untuk menegaskan hak dan perlindungan perempuan serta anak.

Mereka menekankan, damai dan merdeka bukan sekadar bebas dari konflik atau penjajahan, tetapi harus tercermin dalam keadilan, keamanan, dan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan.

Hal itu terhimpun dari catatan penting Flower Aceh yang merekam aspirasi perempuan akar rumput di beberapa kabulaten/kota mengenai refleksi 20 tahun perdamaian Aceh dan 80 tahun kemerdekaan Indonesia.

Bagi Ernawati, tokoh perempuan akar rumput Pidie sekaligus Koordinator Program Flower Aceh, arti damai dan merdeka lebih luas. Erna mengataka damai dan merdeka berarti bisa bekerja tanpa takut, keluar rumah dengan tenang, dan turut serta dalam pembangunan.

“Damai memberi ruang untuk tumbuh, merdeka memberi suara untuk didengar. Namun, perjalanan ini belum selesai. Masih ada kemiskinan, ketidakadilan, dan suara perempuan yang sering diabaikan,” ujarnya, Minggu (17/8/2025).

Sri Mayuliza, anak korban konflik di Aceh Utara. Menurutnya, perdamaian memberi ruang bagi generasi muda untuk hidup lebih tenang dibandingkan orang tua mereka.

“Dua puluh tahun perdamaian ini saya rasakan sebagai berkah. Di usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia, saya berharap perdamaian terus dijaga agar anak-anak tidak mewarisi luka perang, melainkan harapan untuk masa depan lebih baik,” katanya.

Sementara itu, Muhklifah, penggerak kesehatan di Aceh Tamiang, menekankan hubungan erat antara kemerdekaan dan perdamaian.

“Merdeka adalah bebas dari bully fisik maupun psikis, dihargai tanpa memandang latar belakang, dan mendapat respek. Damai tercipta dari empati antarindividu. Merdeka dirasakan jasmani, damai dirasakan hati. Keduanya tidak bisa dipisahkan,” jelasnya.

Namun, tidak semua narasumber melihat kemerdekaan dan perdamaian sebagai pencapaian sempurna. Annisa, tokoh perempuan komunitas di Pidie, menyoroti ketimpangan keadilan yang masih terjadi.

“Merdeka tapi masih seperti hidup di zaman penjajahan. Pendidikan, kebebasan berpendapat, dan keadilan masih terbelenggu. Perdamaian hanya di nota Helsinki, implementasinya masih banyak di atas kertas. Saat ini kami bisa beraktivitas lebih bebas, tapi keadilan bagi korban masih janji belaka,” ungkapnya.

Cut Ria, paralegal komunitas di Aceh Besar, menegaskan pentingnya keadilan bagi penyintas kekerasan.

“Delapan puluh tahun Indonesia merdeka dan dua puluh tahun perdamaian, tapi keadilan bagi penyintas kekerasan belum tuntas. Perdamaian sejati tidak cukup tanpa senjata; harus hadir kebenaran, pemulihan, dan pengakuan. Kami tidak menuntut balas, tapi keadilan,” tegasnya.

Khuzaimah, korban konflik di Aceh Utara, menekankan pemulihan trauma dan layanan dasar sebagai prioritas. Ia mengatakan perlunya akses ke layanan kesehatan mental, proses hukum yang adil, partisipasi dalam pembangunan, serta pengakuan atas pengalaman perempuan korban konflik.

“Ini penting agar perempuan korban bisa memulihkan diri dan meningkatkan kualitas hidupnya,” ujarnya.

Mainar, Tuha Peut Banda Aceh mengatakan pasca konflik dan tsunami, selama perdamaian perempuan kini bisa keluar malam tanpa rasa takut, tanpa dibayangi ancaman atau kekerasan.

Zahruna, Ketua Forum Komunitas Akar Rumput (FKPAR) Aceh, mengatakan tanggung jawab kita adalah terus berjuang membangun Aceh dan bangsa supaya lebih baik. Hidup aman, bebas dari kemiskinan, pendidikan mudah dijangkau, dan tanpa penindasan terhadap perempuan, itulah arti kemerdekaan.

Riswati, Direktur Eksekutif Flower Aceh, menambahkan pentingnya pengarusutamaan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan (Women, Peace, and Security/WPS) dalam pembangunan Aceh.

Prinsip GEDSI dan Pemenuhan Hak Anak harus diintegrasikan di semua sektor, khususnya enam urusan wajib layanan dasar, sekaligus mendukung pencapaian SDGs, terutama Tujuan 5 tentang kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Kami juga mendorong penguatan kapasitas institusi pemerintah dan non-pemerintah serta optimalisasi Alokasi Anggaran Responsif Gender (ARG) untuk mendukung kegiatan strategis, pemberdayaan perempuan, dan pencegahan diskriminasi maupun kekerasan berbasis gender.

Ia menekankan partisipasi perempuan dalam perencanaan pembangunan, penguatan sistem data berbasis bukti, dan optimalisasi anggaran responsif gender.

“Dengan langkah-langkah ini, Aceh dapat membangun masa depan yang adil, setara, dan inklusif bagi semua,” tuturnya.

Momentum 20 tahun perdamaian dan 80 tahun kemerdekaan ini menjadi pengingat bahwa merawat damai dan merdeka membutuhkan kerja bersama.

Perempuan akar rumput di Aceh menyatakan kesiapan mereka untuk terus berkontribusi di tingkat komunitas, mengisi dan memastikan perdamaian tetap terjaga. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER