Banda Aceh (Waspada Aceh) – Perayaan 20 Tahun Damai Aceh yang jatuh setiap 15 Agustus sebagai Hari Damai Aceh harus benar-benar memberikan dampak positif bagi rakyat.
Setelah dua dekade perdamaian, angka kemiskinan dan masalah sosial lain di Serambi Mekkah semestinya berkurang, seiring masuknya dana sekitar Rp90 triliun ke Aceh.
Dampak konflik horizontal antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah RI selama hampir 30 tahun, diakui Murizal Hamzah, penulis buku biografi Hasan Tiro: Jalan Panjang Menuju Damai Aceh, masih meninggalkan luka bagi masyarakat.
Kerusakan terparah, menurut dia, terjadi pada pergeseran peradaban, perubahan perilaku warga, serta cara berpikir masyarakat.
“Damai Aceh rawan runtuh jika kesejahteraan, keadilan, dan martabat rakyat belum terpenuhi. Setelah berakhir perang, warga bertanya, mereka dapat apa?” ungkap Murizal Hamzah pada Forum Internasional Refleksi Aceh Damai di Jakarta, Kamis (14/8/2025).
MH – sapaan akrab Murizal Hamzah – menuturkan, setelah puluhan tahun bicara kapal perang (konflik), kini saatnya fokus pada kapal bisnis (sektor ekonomi).
Ia juga mengingatkan, setelah Indonesia mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat di Tanah Air, tiga di antaranya terjadi di Aceh, yakni Pos Sattis dan Rumoh Geudong di Pidie, SP KKA di Aceh Utara, serta Jambo Keupok di Aceh Selatan.
Namun hingga kini, hak-hak korban dan ahli waris belum tuntas.
“Pemerintah Pusat harus menuntaskan komitmen yang dijanjikan. Pemerintah Aceh dan pemangku kepentingan lain wajib mengingatkan Pusat atas janji-janji itu. MoU Helsinki 2005 bukan berarti konflik Aceh selesai,” ujarnya.
“Masih ada turunan yang memerlukan perhatian serius. Perdamaian Aceh harus dirawat dengan aksi nyata, bukan sekadar slogan,” tegas MH, yang hadir bersama CEO PT Tempo Inti Media Arif Zulkifli.
Forum bertajuk Refleksi Aceh Damai ini digelar oleh ERIA School of Government selama tiga hari, Rabu-Jumat (13-15/8/2025).
Hadir dalam forum, tokoh nasional dan internasional yang terlibat dalam proses perdamaian Aceh, antara lain Jusuf Kalla, Hamid Awaluddin, Wali Nanggroe Aceh Teungku Malik Mahmud Al Haythar, General Nipat Thonglek dari Thailand, Yuhki Tajima dari Georgetown University, Jenderal (Purn) Bambang Darmono, Dr. Rizal Sukma dari CSIS Jakarta, Him Raksmey dari Pusat Studi Kamboja, Dr Onanong Thippimol dari Thammasat University Thailand, Prof Humam Hamid Dadang Trisasongko dari YLBHI, Wiliam Sahbandar, dan T. Kamaruzzaman, mantan juru runding GAM era Jeda Kemanusiaan.
Sedangkan ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia) School of Government, adalah forum yang diketuai Profesor Nobuhiro Aizawa, fokus pada pengembangan kapasitas pemerintahan dan penelitian kebijakan di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara.
Forum ini mendorong pertukaran pengetahuan antara praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan lintas negara. (*)



