Jumat, Agustus 15, 2025
spot_img
BerandaOpiniMenyulam Solidaritas Aceh di Bumi Sultan Mehmed

Menyulam Solidaritas Aceh di Bumi Sultan Mehmed

“Ada tantangan yang tak pernah tertulis di silabus, bagaimana bertahan, beradaptasi, dan tetap membawa identitas diri di tengah budaya yang berbeda”

Penulis: Teuku Ryan 

Dalam konteks inilah, kegiatan seperti Leadership Camp yang digelar Ikatan Mahasiswa Aceh (IKAMAT) di Ağva, Istanbul, pada 9–10 Agustus lalu, menemukan makna yang mendalam.

Bagi sebagian orang, Leadership Camp mungkin sekadar pelatihan kepemimpinan dua hari satu malam.

Namun, bagi mahasiswa Aceh di Turki, kegiatan ini adalah ruang kecil untuk membangun sesuatu yang besar: rasa percaya diri, kemampuan memimpin, dan yang tak kalah penting solidaritas sesama anak rantau.

Sejak pagi, 17 peserta yang hadir tidak hanya diajak berdiskusi dan mengikuti lokakarya.

Mereka juga dibawa ke dalam situasi yang menuntut kerja sama dan keterbukaan. Di sela tawa dan lelah, terjalin obrolan yang menyentuh akar perasaan: kerinduan pada kampung halaman, semangat untuk memberi kontribusi bagi Aceh, dan harapan untuk masa depan.

Ketua IKAMAT, Miftahul Fuadi Hibda, menyebut kegiatan ini sebagai “bekal berharga” bagi para peserta. Bekal bukan hanya dalam bentuk teori kepemimpinan, tetapi juga pengalaman hidup yang kelak akan memengaruhi cara mereka memandang tanggung jawab baik kepada diri sendiri, kepada masyarakat Aceh, maupun kepada umat di mana pun mereka berada.

Saya percaya, kepemimpinan yang sejati lahir bukan dari panggung besar atau gelar yang panjang, tetapi dari latihan-latihan kecil seperti ini.

Dari keberanian untuk mendengar dan menghargai pendapat orang lain, dari kesediaan untuk memikul beban bersama, dan dari tekad untuk tetap memegang prinsip meski berada di tanah yang jauh dari rumah.

Dalam suasana dunia yang semakin individualistis, kebersamaan mahasiswa Aceh di Turki menjadi pengingat bahwa kita tidak pernah benar-benar sendiri jika mau membuka diri.

IKAMAT, dengan segala keterbatasannya, telah memberikan teladan: bahwa membangun pemimpin masa depan dimulai dari menguatkan ikatan hari ini.

Aceh membutuhkan anak-anak mudanya untuk pulang dengan lebih dari sekadar ijazah. Ia butuh pemimpin yang matang—yang tahu rasanya merantau, yang paham arti kebersamaan, dan yang berani mengambil keputusan untuk kebaikan banyak orang.

Dan mungkin, salah satu langkah awal menuju ke sana dimulai dari sebuah perkemahan di pinggir sungai di Istanbul. (*)

  • Penulis adalah mahasiswa Istanbul Medeniyet dan juga Santri Sulaimaniyah.
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER