“Kuburan-kuburan massal harus dibuka, dan kebenaran tak bisa terus terkubur bersama tubuh-tubuh para santri tak bernyawa”
Aldin Nainggolan berdiri mematung di tepi liang yang masih basah. Udara Beutong Ateuh pagi itu menyimpan dingin yang ganjil—dingin dari hutan dan dingin dari kematian. Di hadapannya, altar pesantren yang mestinya teduh dan “suci” berubah menjadi ladang pembantaian.
Lubang-lubang galian itu terlihat dangkal, tergesa, seperti dikubur dalam ketakutan. Tikar plastik—yang dijadikan kafan darurat—menjulur keluar, seolah tubuh-tubuh itu masih ingin bicara.
Beberapa hari sebelumnya, tragedi itu terjadi. Tgk Bantaqiyah, ulama kharismatik, bersama istri, anak, dan puluhan santrinya dibantai di Pesantren Babul Al-Mukarramah. Data dari KontraS mencatat, 57 orang tewas. Dunia tak banyak tahu, sampai tim jurnalis datang ke lokasi.
Aldin datang bersama beberapa wartawan lain. Perjalanan ke Beutong dilakukan diam-diam. Mereka bermalam di emperan kedai kayu di pinggir jalan—tanpa listrik, hanya cahaya petromak dan bayang-bayang gelap yang samar. Di kejauhan, terdengar derap sepatu dan suara kendaraan tentara yang lalu-lalang.
“Rasa ngeri tak sempat kami ucapkan satu sama lain,” kata Aldin.
Esok paginya mereka menuju pesantren. Jalan berbatu mendaki, dikelilingi hutan rapat, membawa mereka ke jantung petaka yang belum pulih. Begitu tiba, tak ada waktu untuk diam. Kuburan-kuburan massal harus dibuka, dan kebenaran tak bisa terus terkubur bersama tubuh-tubuh para santri tak bernyawa.
Abdullah Saleh, keponakan Tgk Bantaqiyah, menggali dengan tangan kosong. Ia tak mengenakan penutup hidung. Matanya terus basah. Para wartawan yang membantu menggali, menahan bau menyengat dengan bubuk kopi dalam saputangan. Tapi aroma itu tak sebanding dengan perih yang menyeruak dari kesadaran: bahwa mereka sedang menyentuh bukti kejahatan yang selama ini ditutup-tutupi.
Ketika BBC Siaran Indonesia menghubungi, Aldin melaporkan dalam suara tercekat. Ia bercerita tentang tanah merah, daun yang bergetar, dan bau kematian yang masih meratap. Suaranya menembus batas geografis, mengabarkan: telah terjadi pembantaian—menyerupai genosida.

Pada pagi sebelumnya, pukul 06.00 WIB, Minggu 25 Juli 1999, reporter BBC Siaran Indonesia, Maskur Abdullah, melaporkan peristiwa pembantaian brutal terhadap Tgk Bantaqiah bersama anak dan puluhan santrinya. Dunia terperangah!
Bukan sekali itu Aldin berhadapan langsung dengan bahaya. Di masa yang lain, ia pernah disekap oleh Abu Tausi, Panglima GAM Wilayah Teumeureuhom Daya. Saat itu, Aldin sedang meliput bersama jurnalis senior asal Australia di kawasan Lamno, Aceh Barat. Mereka dituduh sebagai kaki tangan pemerintah. Aldin dan rekannya, Keith, harus meyakinkan bahwa mereka bukan pendengung militer. Setelah negosiasi alot, mereka dilepaskan.
Namun bagi Aldin, tak ada yang lebih meninggalkan luka batin mendalam daripada peristiwa Beutong. Di sanalah, ia melihat kemanusiaan dilucuti tanpa ampun.
Dalam liputan lain, ia menyusuri wilayah Aceh Barat dan Aceh Selatan bersama redaktur Harian Waspada, Eduard Thahir, dan jurnalis Iskandarsyah. Sepanjang perjalanan, mobil mereka dicegat berkali-kali. Di satu titik oleh TNI, di titik lain oleh kombatan GAM. Mereka ditanya, diperiksa, dicurigai. Di medan seperti itu, tak ada kepastian—kecuali risiko.
Meliput konflik bersenjata menuntut lebih dari sekadar keterampilan jurnalistik. Nyali, insting, dan keberanian jadi syarat mutlak. Tapi selalu ada pertanyaan yang menghantui: apakah berita eksklusif sebanding dengan nyawa? Sebab jika seorang jurnalis gugur, maka tak ada lagi cerita yang bisa disampaikan ke publik.
“Keselamatan tetap prioritas,” kata Aldin. “Karena tanpa jurnalis yang hidup, kebenaran bisa ikut mati.”
Terkait Tragedi Beutong Ateuh ini tidak mungkin bisa disembunyikan lagi. Para aktivis HAM nasional maupun internasional mendesak Pemerintah Indonesia mengusut kasus ini dan menyeret para pelakunya ke pengadilan.
Panglima TNI ketika itu Jenderal TNI Wiranto, akhirnya menyetujui dibentuk Tim Pencari Fakta (TPF) untuk mengungkap kebenaran kasus pelanggaran HAM berat di Beutong Ateuh.
Pada April 2000, saat Panglima TNI sudah dijabat oleh Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto dan Panglima Kostrad dijabat Letjen TNI Agus Wirahadikusumah, Pengadilan Koneksitas memulai sidang di Pengadilan Negeri Banda Aceh, Jalan Cut Meutia, bersebelahan dengan gedung Polda Aceh.
Peradilan yang mulai bersidang 19 April 2000 ini, menyeret 25 anggota TNI sebagai tersangka tragedi pembunuhan Teungku Bantaqiah dan pengikutnya. Para pelaku akhirnya mendapat ganjaran hukuman. (*)
- Catatan ini dikutip dari eBook berjudul: RISALAH JURNALIS DI KONFLIK ACEH, yang disusun Ramadan MS dan editor Maskur Abdullah.