Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dua dekade setelah penandatanganan perjanjian damai, Aceh dinilai belum sepenuhnya lepas dari potensi konflik akibat masalah kemiskinan.
Akademisi dan pengamat politik Aceh, Prof Yusni Saby, menilai masalah mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
“Damai secara fisik memang terawat, tetapi produktivitas, hasil, dan dampaknya terhadap kesejahteraan belum maksimal,” kata Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh itu kepada Waspadaaceh.com Selasa, (12/8/2025).
Menurutnya, Aceh telah menerima dana otonomi khusus dan anggaran yang cukup besar. Namun, ia menilai masih terjadi kebocoran di sejumlah sektor pemerintahan yang luput dari pengawasan.
“Ketika rakyat mengetahui ada kebocoran, kepercayaan publik akan hilang. Program yang baik pun tidak akan dianggap serius,” ujarnya.
PR Perdamaian
Prof Yusni mengingatkan, meskipun konflik bersenjata telah berakhir, perdamaian dalam arti substantif belum tercapai. Ia menyoroti minimnya ketersediaan lapangan kerja baru selama 20 tahun terakhir.
“Yang bertambah hanya warung kopi. Sarjana dan lulusan sekolah menengah banyak, tetapi mereka ke mana? Kalau kekecewaan ini terakumulasi, bisa menjadi bibit konflik di masa depan,” kata dia.
Sebagai solusi, Prof Yusni mendorong Pemerintah Aceh untuk fokus membangun sektor produksi lokal, seperti pertanian, hortikultura, dan peternakan. Tujuannya untuk membuka lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Pemerintah harus berhenti bermain di tataran retorika. Masa kampanye boleh berbicara, tapi sekarang waktunya bekerja. Sebutkan penyebab konflik, tunjukkan apa yang sudah diatasi, dan ukur hasilnya. Kepercayaan publik adalah modal utama, dan jika hilang akan sulit dikembalikan,” tuturnya. (*)