Banda Aceh (Waspada Aceh) – “Indonesia berhutang budi padamu, Aceh.” Kutipan puisi karya Emha Ainun Nadjib tahun 1992 itu seakan menjadi pengantar tepat untuk memahami peran dan nasib Aceh dalam sejarah Republik Indonesia pasca 17 Agustus 1945.
Dalam diskusi “Aceh Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia” di Museum Aceh, Selasa (12/8/2025), sejarawan dan budayawan Nabhany AS menuturkan, pada tahun-tahun awal kemerdekaan, Aceh menjadi benteng terakhir yang menyelamatkan nyawa republik.
Ketika Jakarta, Yogyakarta, hingga Bukittinggi jatuh ke tangan Belanda, Presiden Sukarno sempat menjadikan Kutaraja (Banda Aceh) dan Bireuen sebagai ibu kota darurat.
“Di tengah blokade Belanda, Aceh masih bisa mengabarkan ke dunia bahwa Indonesia masih ada, lewat Radio Rimba Raya yang siarannya tembus hingga India, Timur Tengah, dan Eropa,” ujar Nabhany.
Kontribusi Aceh tidak hanya dalam bentuk perjuangan fisik, tetapi juga terukur secara materiil. Rakyat Aceh menyumbangkan pesawat Dakota dan “Seulawah Agam” I & II yang menjadi cikal bakal Garuda Indonesia serta emas dan uang sebesar 500 dolar Singapura.
“Dukungan ini menjadi modal penting bagi republik yang masih bayi waktu itu,” kata Nabhany.
Aceh juga menerbitkan surat kabar Semangat Merdeka pada Oktober 1945, hanya tiga bulan setelah proklamasi, yang diedarkan secara nasional dengan cara diselundupkan menembus blokade.
Namun, sejarah mencatat, setelah kedaulatan Indonesia diakui Belanda pada 1949, janji-janji Soekarno kepada rakyat Aceh tak semuanya ditepati.
“Kekecewaan demi kekecewaan terus dialami Aceh setelah memberikan kesetiaan kepada republik,” kata Nabhany.
Ia menekankan, pergolakan Aceh tidak bisa semata-mata dilihat sebagai “kebiasaan perang” warganya. “Ada persoalan harga diri dan marwah yang terkhianati.”
“Setiap pergolakan pasca kemerdekaan, dari DI/TII hingga GAM, punya sebab yang harus dipahami dalam konteks sejarah,” ujarnya.
Nabhany mengingatkan, dari perjalanan sejarah pasca kemerdekaan, banyak pelajaran pahit yang harus dipetik agar tidak terulang.
“Pergolakan demi pergolakan mengganggu stabilitas keamanan, kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, hingga sosial agama. Ke depan, kita berharap Aceh lebih damai, adil, dan sejahtera,” pesannya.
Khusus kepada anak muda atau Gen Z Aceh, ia berpesan untuk menyiapkan diri sebagai penerus estafet kepemimpinan.
“Gen Z hari ini sedang menempuh pendidikan, dari sanalah lahir sumber daya manusia yang profesional dan bermanfaat bagi masyarakat,” tutupnya. (*)