Apakah ini upaya untuk memperbaiki kesalahan prosedur atau pemaksaan hukum yang mungkin terjadi?
Keputusan Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto telah memicu perdebatan sengit di tengah masyarakat. Meskipun langkah ini disambut positif oleh sebagian pihak sebagai bukti berakhirnya kriminalisasi beraroma politik, tetap ada keraguan dan pertanyaan publik yang perlu dijawab.
Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, melihat abolisi dan amnesti sebagai respon terhadap jeritan hati masyarakat yang menginginkan penegakan hukum yang adil dan bebas dari intervensi politik.
Mahfud menyebut bahwa opini publik dan kesadaran kolektif masyarakat tentang potensi politisasi hukum telah terbukti relevan dan berpengaruh.
Tapi ada pertanyaan yang mengusik publik. Abolisi Tom Lembong: Benarkah upaya perbaikan kesalahan sistemik?
Mahfud sebelumnya telah mengeritik putusan hakim untuk Tom Lembong. Menurutnya dalam putusan, hakim tidak menemukan mens rea (niat, kesengajaan, atau kelalaian saat melakukan perbuatan itu). Sehingga Tom Lembong tak layak dihukum
Kasus Tom Lembong, mantan Menteri Perdagangan yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun atas tuduhan terlibat kasus korupsi impor gula, memang penuh kontroversi. Vonis terhadap Tom Lembong telah memicu pertanyaan tentang keadilan dan proses hukum yang dijalaninya.
Apakah ini pengakuan atas kegagalan sistem peradilan? Atau, apakah ini upaya untuk memperbaiki kesalahan prosedur atau pemaksaan hukum yang mungkin terjadi?
Ketiadaan transparansi dalam proses pengambilan keputusan menjadi celah yang memperkuat kecurigaan akan adanya intervensi politik. Pemerintah perlu menjelaskan secara detail pertimbangan yang mendasari pemberian abolisi kepada Tom Lembong.
Transparansi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik dan mencegah interpretasi negatif.
Sementara itu amnesti untuk Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, juga menimbulkan kekhawatiran serupa. Tanpa penjelasan yang memadai terkait kasus yang mendasarinya, keputusan ini memicu pertanyaan tentang keadilan dan kesetaraan di hadapan hukum. Hakim sebelumnya telah memvonis Hasto 3,5 tahun bui.
Apakah amnesti ini didorong oleh pertimbangan politik semata, mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang adil dan obyektif? Kejelasan dan transparansi sangat dibutuhkan untuk menghindari persepsi negatif untuk menjaga kepercayaan publik.
Baik abolisi Tom Lembong maupun amnesti Hasto Kristiyanto, publik tentu menuntut transparansi dan akuntabilitas dari pemerintah. Publik berhak mengetahui alasan, proses pengambilan keputusan, dan pertimbangan hukum yang mendasari kedua keputusan tersebut.
Keputusan abolisi dan amnesti ini memiliki potensi positif, yakni sebagai langkah untuk mengakhiri kriminalisasi beraroma politik. Namun, potensi negatifnya juga besar, yaitu memperkuat persepsi intervensi politik dan impunitas. Untuk menghindari hal tersebut, transparansi dan akuntabilitas mutlak diperlukan.
Pemerintah harus menjelaskan secara rinci alasan di balik keputusan ini dan berkomitmen untuk melakukan reformasi hukum yang mendalam, menjamin keadilan, kesetaraan, dan kepercayaan publik terhadap sistem peradilan Indonesia.
Hanya dengan demikian, abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti bagi Hasto ini dapat dianggap sebagai akhir dari kriminalisasi beraroma politik, dan bukan sebagai awal dari keraguan baru. (*)