Banda Aceh (Waspada Aceh) – Komisi Informasi Aceh (KIA) mencatat, jenis informasi publik yang paling sering disengketakan di Aceh adalah dokumen perizinan, termasuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Hak Guna Usaha (HGU), izin tambang, serta laporan dana desa dan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).
“Sejak periode baru ini berjalan sekitar satu bulan, kami sudah menerima empat permohonan sengketa informasi. Semuanya masih dalam proses persidangan,” kata Ketua KIA, Junaidi, usai diskusi keterbukaan informasi publik bersama jurnalis dan LSM di Banda Aceh, Kamis (31/7/2024).
Junaidi menyoroti salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya kesiapan desa dan sekolah dalam membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
“Dari sekitar 6.600 desa di Aceh, hanya 40 desa yang dinilai layak untuk dimonev. Di Banda Aceh saja, baru 14 desa yang memiliki sistem layanan informasi yang memadai,” jelasnya.
Ia menilai edukasi dan pendampingan kepada badan publik sangat penting agar keterbukaan informasi tidak hanya berhenti di level pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, melainkan juga menjangkau akar pemerintahan di gampong dan satuan pendidikan.
Pada diskusi tersebut, Ketua Bidang Edukasi, Sosialisasi, dan Komunikasi Publik KIA, M. Nasir, menambahkan bahwa sejak tahun 2013 hingga 2024, KIA telah menangani total 113 kasus sengketa informasi melalui adjudikasi. Selain itu, 238 kasus diselesaikan melalui mediasi, 40 kasus melalui penetapan, dan 44 kasus melalui putusan sela.
Jumlah sengketa terendah terjadi di tahun 2024, hanya 10 kasus. Tapi ini tak otomatis menandakan keterbukaan meningkat. Bisa jadi karena masyarakat belum tahu cara mengakses atau menggugat informasi,” kata Nasir.
Ia mengatakan kegiatan ini menjadi forum terbuka pertama yang melibatkan langsung elemen masyarakat sipil dalam upaya memperluas peran KIA.
“Kami butuh kolaborasi. Peran jurnalis dan LSM sangat strategis untuk mendorong keterbukaan dan membangun kesadaran publik tentang hak mereka atas informasi,” ungkapnya.
Ketua KIA Junadi juga menjelaskan bahwa KIA juga menggunakan Indeks Keterbukaan Informasi Publik (IKIP) untuk menilai tingkat transparansi secara nasional. Penilaian ini mengadopsi pendekatan pentahelix dengan melibatkan unsur pemerintah, media, akademisi, pelaku usaha, dan masyarakat sipil.
Tahun ini, KIA berencana melakukan monitoring dan evaluasi terhadap 184 badan publik. Fokus utama penilaian adalah keberadaan PPID dan aksesibilitas layanan informasi melalui situs resmi instansi.
“Kami cek apakah mereka punya kolom PPID di website, sejauh mana informasi tersedia, dan bagaimana pelayanan publiknya berjalan,” tutur Junaidi. (*)