Banda Aceh (Waspada Aceh) – Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Pascasarjana UIN Ar-Raniry menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Konstruksi Branding Citra Syariat Islam di Aceh: Relasi Agama, Budaya, dan Negara”, Kamis (26/6/2025), di ruang rapat Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry.
FGD ini merupakan tindak lanjut dari riset disertasi Azman, Sekretaris Prodi S2 KPI yang tengah menempuh studi doktoral di UIN Sumatera Utara. Ia meneliti konstruksi citra syariat Islam di Aceh menggunakan pendekatan mixed-method, dengan fokus pada bagaimana citra itu terbentuk, disebarluaskan, dan dipersepsikan masyarakat.
Direktur Pascasarjana UIN Ar-Raniry, Prof. Eka Sri Mulyani, mengapresiasi inisiatif riset dan diskusi tersebut. Ia menekankan pentingnya hasil akademik menjadi milik publik dan berperan dalam memperkuat ruang dialektika sosial keislaman.
“Diskusi ini sangat aktual dan kontekstual. Branding citra syariat Islam bukan hanya soal geografi atau hukum, tetapi mencakup relasi sejarah, budaya, dan negara. Branding yang ideal seharusnya berbasis pengetahuan dan mengedepankan nilai rahmatan lil alamin, bukan sekadar aspek sanksi,” ujar Prof. Eka.
Ia juga menggarisbawahi bahwa penerapan syariat Islam di Aceh tidak hadir dalam ruang kosong, melainkan menyatu dengan hukum adat dan kearifan lokal seperti dalam Hadih Maja. Inilah yang menurutnya menjadi DNA dari citra syariat Islam di Aceh.
Ketua Prodi S2 KPI UIN Ar-Raniry, Dr. Ade Irma, berharap hasil penelitian ini bisa memberi kontribusi nyata kepada Pemerintah Aceh, terutama dalam membangun strategi komunikasi yang lebih efektif dan humanis.
“Temuan ini sangat penting bagi pengembangan ilmu komunikasi Islam yang kontekstual dan relevan dengan dinamika sosial masyarakat Aceh,” ujarnya.
Dalam pemaparannya, Azman menyampaikan bahwa Aceh adalah satu-satunya wilayah di Indonesia yang menerapkan syariat Islam secara resmi. Hal ini, menurutnya, seharusnya menjadi sumber kebanggaan dan motivasi hidup kolektif, bukan sekadar simbol atau slogan.
Ia mempertanyakan apakah branding syariat selama ini telah mampu membangun kepercayaan dan identitas kolektif, atau justru menimbulkan resistensi, bias, dan disinformasi, terutama karena citra syariat kerap diasosiasikan dengan aspek hukuman fisik seperti cambuk.
“FGD ini mencoba mencari jalan bagaimana citra tersebut dapat diubah dan dibangun secara lebih utuh—tidak hanya dilihat dari sisi hukuman, tetapi juga nilai-nilai keadilan sosial, pendidikan, dan perlindungan martabat manusia dalam ajaran Islam,” ujar Azman.
Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan, antara lain perwakilan Dinas Syariat Islam Aceh, akademisi dari FISIP USK dan FDK UIN Ar-Raniry, Kaukus Wartawan Peduli Syariat Islam (KWPSI), Indonesian Islamic Youth Economic Forum, Diskominfosandti Banda Aceh, BKPRMI Aceh, Syarikat Islam, serta jurnalis perempuan.
Para peserta sepakat bahwa branding syariat Islam harus dibangun secara holistik, partisipatif, dan inklusif. Narasi yang dikembangkan perlu menyesuaikan konteks kekinian serta memperkuat kolaborasi antar aktor, termasuk media, agar mampu menangkal disinformasi dan membentuk persepsi yang lebih positif di ruang publik. (*)