Manusia yang sehat, terdidik, dan terampil adalah kunci utama untuk menggerakkan roda perekonomian dalam jangka panjang
Oleh: Anita, S.Pd, M.Pd, Gr
Indonesia sedang berada dalam fase krusial yang sangat menentukan arah masa depannya: bonus demografi. Fenomena ini terjadi ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) lebih besar dibandingkan jumlah penduduk usia non-produktif (anak-anak dan lansia).
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), puncak bonus demografi Indonesia diperkirakan berlangsung antara tahun 2020 hingga 2035. Artinya, dalam kurun waktu inilah Indonesia memiliki peluang emas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara signifikan.
Namun, peluang ini hanya akan menjadi catatan sejarah yang lewat begitu saja jika tidak diimbangi dengan kebijakan strategis yang memprioritaskan investasi pada manusia, bukan hanya pada beton dan aspal (infrastruktur fisik).
Memahami Bonus Demografi dan Risikonya
Bonus demografi bukanlah hadiah otomatis. Ia hanya menjadi berkah jika negara mampu mengelolanya dengan baik. Sebaliknya, jika tidak dikelola dengan bijak, bonus demografi justru bisa berubah menjadi bencana demografi.
Kita bisa melihat contohnya di beberapa negara yang gagal memanfaatkan potensi usia produktif mereka karena kurangnya kesiapan infrastruktur sosial—terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja.
Banyak tenaga muda yang produktif akhirnya menganggur, terjebak dalam pekerjaan informal, atau bahkan menjadi bagian dari meningkatnya kriminalitas dan konflik sosial.
Oleh karena itu, pertanyaan utama yang perlu kita renungkan sebagai bangsa adalah: apakah Indonesia sedang fokus membangun manusia atau hanya sekadar membangun jalan, jembatan, dan gedung pencakar langit?
Infrastruktur Fisik vs Infrastruktur Manusia
Tidak bisa dipungkiri, pembangunan infrastruktur fisik penting untuk pertumbuhan ekonomi. Jalan tol, pelabuhan, dan kereta cepat memang mempermudah mobilitas dan efisiensi logistik.
Namun, pembangunan infrastruktur fisik seharusnya bukan menjadi satu-satunya indikator keberhasilan pembangunan. Ketika pemerintah mengalokasikan triliunan rupiah untuk infrastruktur fisik tetapi mengabaikan kualitas guru, fasilitas sekolah, dan layanan kesehatan dasar, maka kita sedang membangun rumah besar di atas fondasi yang rapuh.
Sebaliknya, investasi pada manusia—melalui pendidikan berkualitas, layanan kesehatan universal, pelatihan keterampilan, dan penciptaan lapangan kerja yang layak—akan menghasilkan modal sosial dan ekonomi yang jauh lebih berkelanjutan.
Manusia yang sehat, terdidik, dan terampil adalah kunci utama untuk menggerakkan roda perekonomian dalam jangka panjang.
Tantangan Nyata: Pendidikan dan Kualitas Tenaga Kerja
Salah satu tantangan terbesar Indonesia dalam memanfaatkan bonus demografi adalah kualitas pendidikan. Berdasarkan hasil Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, skor rata-rata siswa Indonesia masih berada di bawah rata-rata OECD, terutama dalam literasi membaca, matematika, dan sains.
Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kita masih belum optimal dalam menghasilkan sumber daya manusia yang mampu berpikir kritis, kreatif, dan adaptif terhadap perubahan zaman.
Selain itu, pelatihan vokasional dan pendidikan tinggi juga belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan pasar kerja. Banyak lulusan pendidikan tinggi yang menganggur karena kompetensinya tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
Padahal, untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 dan transisi menuju ekonomi hijau, kita membutuhkan tenaga kerja yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu belajar seumur hidup (lifelong learning).
Kesehatan: Pondasi Dasar Produktivitas
Selain pendidikan, aspek kesehatan juga menjadi penopang utama produktivitas manusia. Sayangnya, masih banyak daerah di Indonesia yang belum memiliki akses memadai terhadap layanan kesehatan dasar. Angka stunting di Indonesia juga masih cukup tinggi.
Menurut data Kementerian Kesehatan, prevalensi stunting pada balita Indonesia tahun 2023 masih berada di angka 21,6 persen—meskipun mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, angka ini masih jauh dari target WHO, yaitu di bawah 20 persen.
Stunting bukan hanya soal tinggi badan anak yang tidak sesuai usia, tetapi juga berpengaruh terhadap perkembangan otak dan kemampuan belajar anak. Anak-anak yang mengalami stunting akan tumbuh menjadi generasi lebih sulit bersaing di dunia kerja karena memiliki keterbatasan kognitif. Jika masalah ini tidak ditangani secara serius, maka kita sedang membiarkan masa depan bangsa melemah dari akarnya.
Kesempatan Kerja dan Ekonomi Kreatif
Investasi pada manusia tidak akan berarti tanpa penciptaan lapangan kerja yang layak. Kita perlu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi sejalan dengan penciptaan peluang kerja.
Dalam hal ini, pemerintah perlu mendorong tumbuhnya sektor-sektor ekonomi kreatif, digital, dan UMKM yang mampu menyerap tenaga kerja muda. Selain itu, kebijakan ekonomi juga harus memberikan ruang bagi inovasi anak-anak muda yang seringkali memiliki ide-ide segar namun terhambat oleh keterbatasan akses modal dan bimbingan.
Pemerintah juga perlu mendorong kewirausahaan sosial dan startup berbasis teknologi sebagai salah satu solusi untuk menyerap tenaga kerja muda terdidik. Bonus demografi tidak hanya bisa direspons dengan menyediakan pekerjaan, tetapi juga dengan menumbuhkan semangat penciptaan kerja (job creator).
Peran Perempuan dan Kesetaraan Gender
Aspek lain yang sering terlupakan dalam konteks bonus demografi adalah peran perempuan. Perempuan Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun masih banyak yang tidak diberdayakan secara optimal karena diskriminasi gender, ketimpangan upah, dan kurangnya akses terhadap pendidikan serta layanan kesehatan reproduksi.
Meningkatkan partisipasi angkatan kerja perempuan dan menciptakan lingkungan kerja yang ramah gender merupakan bentuk nyata dari investasi pada manusia. Pemberdayaan perempuan tidak hanya berdampak pada ekonomi rumah tangga, tetapi juga terhadap kemajuan generasi selanjutnya karena perempuan memainkan peran penting dalam pendidikan dan pengasuhan anak.
Jalan Tengah: Keseimbangan yang Bijak
Penting untuk menekankan bahwa tulisan ini bukan bermaksud menafikan pentingnya pembangunan infrastruktur fisik. Yang menjadi sorotan adalah kecenderungan kebijakan pembangunan yang terlalu berat sebelah.
Indonesia membutuhkan keseimbangan yang sehat antara pembangunan fisik dan pembangunan manusia. Jalan tol yang megah akan kehilangan maknanya jika masyarakat yang melintasinya masih hidup dalam kemiskinan, kurang gizi, dan minim pendidikan.
Kebijakan fiskal dan anggaran negara perlu direformasi untuk mencerminkan prioritas ini. Dana pendidikan seharusnya tidak hanya digunakan untuk pembangunan gedung sekolah, tetapi juga untuk pelatihan guru, pengembangan kurikulum, dan pemberian beasiswa.
Begitu pula dana kesehatan harus diarahkan pada upaya pencegahan, peningkatan gizi masyarakat, dan penguatan layanan kesehatan primer.
Menyiapkan Generasi Emas 2045
Jika Indonesia benar-benar ingin mencapai visi “Indonesia Emas 2045”, maka saat inilah momentum terbaik untuk berinvestasi pada manusia.
Jangan biarkan bonus demografi hanya menjadi statistik yang dibanggakan di atas kertas. Jadikan ia sebagai katalisator perubahan struktural yang menempatkan manusia sebagai subjek utama pembangunan, bukan sekadar objek.
Membangun manusia memang tidak secepat membangun jembatan atau bandara. Tapi hasilnya akan jauh lebih kokoh dan bertahan lama. Negara-negara maju di dunia telah membuktikan bahwa kekuatan sesungguhnya bukan terletak pada seberapa besar gedung pencakar langit yang mereka miliki, tetapi pada kualitas sumber daya manusia yang mengisinya.
Saatnya Indonesia menyadari bahwa sumber daya manusia adalah aset paling berharga yang dimiliki. Dan untuk itu, investasi terbaik yang bisa kita lakukan hari ini adalah memastikan setiap anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, berkarakter, dan siap menghadapi dunia. (*)
- Penulis Anita, S.Pd, M.Pd, Gr adalah pemerhati Pendidikan dan Sosial Masyarakat.
- Alumni Pascasarjana Universitas Syiah
- Email: [email protected]