Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kondisi Rawa Tripa di pesisir barat Aceh semakin memprihatinkan. Berdasarkan citra satelit tahun 2024, dari total 61.803 hektare luas kawasan, hanya tersisa sekitar 6.565 hektare hutan alam.
Deforestasi dan alih fungsi lahan gambut menjadi perkebunan sawit disebut sebagai penyebab utama kerusakan kawasan.
Akibatnya, habitat satwa langka seperti orangutan sumatra (Pongo abelii) dan harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) semakin menyempit, meningkatkan potensi konflik dengan manusia.
“Kami melihat lemahnya penegakan hukum menjadi hambatan utama pemulihan kawasan,” kata Direktur Yayasan APEL Green Aceh, Syukur Tadu, kepada Waspadaaceh.com, Minggu (18/5/2025).
Ia menyoroti belum dieksekusinya putusan pengadilan terhadap dua perusahaan yang dinyatakan bersalah membakar lahan gambut, yakni PT Kallista Alam dan PT Surya Panen Subur II (SPS II).
PT Kallista Alam diwajibkan memulihkan 1.000 hektare lahan dengan biaya Rp251 miliar, sedangkan PT SPS II harus merehabilitasi 1.200 hektare senilai Rp302 miliar. Namun hingga kini, eksekusi putusan belum dilakukan.
Yayasan APEL Green Aceh mendesak Pengadilan Negeri Suka Makmue segera mengeksekusi putusan tersebut. Mereka juga mendorong Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya meningkatkan status Rawa Tripa menjadi kawasan konservasi.
Masalah ini turut dibahas dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Gambut, Orangutan, dan Krisis Iklim” di The Mirah Hotel, Bogor, Selasa (14/5/2025).
FGD menghasilkan sejumlah rekomendasi strategis, seperti pencabutan HGU, audit terhadap pemilik lahan dan skema ISPO/RSPO, kajian kerugian ekonomi akibat kerusakan, serta pemetaan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
FGD diikuti oleh perwakilan ICEL, Greenpeace, Walhi Nasional, Pantau Gambut, Sawit Watch, AJI Jakarta, PPATK, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Mereka menekankan pentingnya pemulihan Rawa Tripa secara menyeluruh, transparansi penggunaan dana denda, serta penguatan komitmen terhadap target FOLU Net Sink 2030.
Minimnya ketegasan Pemerintah Aceh juga dinilai memperburuk krisis ekologi ini. Para peserta FGD menekankan perlunya langkah konkret dan konsisten untuk membongkar jejaring korporasi yang selama ini merusak kawasan tanpa konsekuensi.
“Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal keadilan bagi masyarakat dan satwa yang hidup di dalamnya,” ujar Syukur. (*)