Kamis, Maret 6, 2025
spot_img
BerandaJerih Payah Petani Timun Suri Terbayarkan Memasuki Ramadhan

Jerih Payah Petani Timun Suri Terbayarkan Memasuki Ramadhan

Setiap tahun, menjelang bulan suci Ramadhan, ladang kecil di tepi Krueng Aceh itu disulap menjadi kebun timun suri.

Matahari perlahan naik di ufuk timur, menghangatkan hamparan sawah di pinggir Krueng Aceh.

Di antara rimbunan daun hijau, Yusfuadi (43), yang akrab disapa Adi, membungkukkan tubuhnya, meraba permukaan timun suri yang mulai retak pertanda buah itu telah matang sempurna.

Adi, yang sehari-hari juga bekerja sebagai guru olahraga di sebuah SD di Aceh Besar, terlihat cekatan membungkus buah timun suri dengan pelepah pisang agar tetap segar. Di sisinya, Angga Wijaya (35), rekan sekaligus tetangganya, ikut membantu membalut buah-buah yang sudah dipetik.

Lahan milik pemerintah yang digarap itu berada di Gampong Cot Irie, Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Sejak tengah malam, keduanya sudah mulai memanen buah-buah yang siap dipetik.

Bau harum khas timun suri menguar di udara pagi, berpadu dengan tanah basah yang masih menyisakan embun.

“Tengah malam kita panen, biar kualitasnya tetap terjaga. Begitu kulitnya mulai retak, langsung kita bungkus biar wangi. Kalau terlalu cepat dipetik, aromanya kurang,” kata Adi saat ditemui Waspada Aceh, Rabu (5/3/2025).

Di kejauhan, seorang muge (toke) tampak sibuk mengangkut timun suri ke dalam becaknya. Mereka datang pagi-pagi untuk memastikan buah segar sampai ke pasar sebelum siang.

Setiap tahun, menjelang bulan suci Ramadhan, ladang kecil di tepi Krueng Aceh itu disulap menjadi kebun timun suri. Lahan seluas 20 x 10 meter itu mampu menghasilkan hingga 60 buah setiap kali panen.

“Hari ini bisa panen 60 buah. Paling seminggu sudah habis semua, karena panennya serentak,” ujar Adi.

Harga timun suri bervariasi tergantung ukuran. Yang kecil, seberat setengah kilogram, dijual mulai Rp 8 ribu. Sementara yang lebih besar, berbobot sekitar dua kilogram, bisa mencapai Rp 15 ribu.

Meski tahun ini luas lahannya lebih kecil dibanding sebelumnya, penjualan justru meningkat.

Angga Wijaya, salah satu petani di Aceh Besar, membalut timun suri dengan pelepah pisang untuk menjaga kesegarannya, Kamis (6/3/2025). (Foto/Cut Nauval D)

“Banyak petani lain gagal panen karena cuaca. Tapi berkat ilmu dari ayah, Alhamdulillah, masih bisa panen. Dalam sekali panen bisa dapat penghasilan tiga sampai empat ratus ribu rupiah,” katanya.

Namun, bertani timun suri tetaplah pertaruhan dengan alam. Adi pernah mengalami gagal panen total pada 2022.

“Waktu itu tanamnya di sawah. Hujan deras terus-terusan, timunnya tergenang air, busuk sebelum sempat dipanen,” kenangnya.

Kerugian saat itu ditaksir lebih dari Rp 7 juta. Padahal, jika cuaca bersahabat, hasilnya bisa berkali lipat.

“Sekarang sudah paham caranya. Yang penting tanahnya dijaga, kasih pupuk yang pas, dan jangan sampai kelebihan air,” ujar Adi, yang belajar bertani sejak kecil dari sang ayah.

Seperti Merawat Bayi

Baginya, bertani timun suri bukan sekadar menanam dan memanen. Ada perjuangan besar di baliknya dari memilih bibit terbaik, menyiapkan tanah, hingga merawatnya seperti merawat bayi.

“Timun suri ini manja, kalau kurang air bisa layu, tapi kalau kebanyakan air malah busuk. Tiap hari harus dicek satu-satu, seperti ngerawat anak,” katanya sambil tersenyum.

Angga Wijaya, yang selama ini setia membantu Adi, mengaku pekerjaan memanen timun suri memang membutuhkan ketelitian.

“Kadang kalau kita lalai, buahnya bisa rusak atau malah aromanya kurang wangi. Makanya kita bungkus pakai pelepah pisang biar tetap segar,” ujar Angga.

Timun suri membutuhkan waktu sekitar dua bulan hingga siap panen. Bibitnya dipilih dari buah terbaik, lalu dikeringkan dan disimpan di lemari pendingin agar tetap hidup.

“Kalau nggak dikulkas, bibitnya mati,” kata Adi dalam bahasa Aceh.

Bagi Adi, panen kali ini lebih dari sekadar keuntungan. Ini juga tentang mempertahankan warisan keluarga yang sudah berlangsung turun-temurun. Ia mengenang pesan ayahnya, “Menjelang Ramadhan, tanamlah timun. Biar ada penghasilan tambahan.”

Hasil penjualan timun suri tidak hanya untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga untuk membeli baju anak-anaknya sebagai persiapan lebaran.

“Setidaknya, dari hasil ini bisa buat beli baju anak-anak,” katanya dengan senyum kecil.

Di tengah cuaca yang tak menentu dan tantangan bertani, Adi tetap bersyukur. Timun suri, yang dulu hanya bagian dari kebiasaan keluarga, kini menjadi sumber penghidupan dan harapan setiap kali bulan suci Ramadhan tiba. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER