Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Jamaluddin, menyampaikan pentingnya penguatan regulasi dan validasi data dalam rangka menyelesaikan permasalahan pascakonflik Aceh.
Hal tersebut diungkapkan dalam pertemuan silaturahmi bersama jurnalis di Kantor BRA, Lamtemen Timur, Banda Aceh, Senin (6/1/2025).
“Kita butuh regulasi baru sebagai payung hukum untuk mempercepat penyelesaian permasalahan mantan kombatan, korban konflik, dan tahanan politik. Perintah undang-undang jelas, tetapi implementasinya memerlukan dukungan regulasi yang lebih kuat,” ujar Jamaluddin.
Ia menjelaskan bahwa hampir dua dekade setelah perdamaian di Aceh, BRA belum diberi kewenangan untuk memberikan bantuan pendidikan formal kepada mantan kombatan, meskipun mereka menghadapi berbagai masalah akibat konflik.
Menurutnya, ini adalah langkah baru untuk menyelesaikan konflik dengan cara bermartabat, karena seseorang dianggap bermartabat ketika hak-haknya, sesuai dengan konstitusi, dipenuhi.
Jamaluddin juga menjelaskan bahwa BRA menghadapi berbagai tantangan, termasuk kendala terkait pengelolaan data dan penyediaan lahan untuk korban konflik. Hingga kini, proses pemberian sertifikat tanah kepada mantan kombatan dan korban konflik masih menghadapi hambatan.
“Sejak 2017, kami sudah menyerahkan sertifikat tanah setiap peringatan Hari Damai Aceh. Masing-masing menerima dua hektare. Namun, area lahan produktif yang tersedia sangat terbatas. Banyak lahan masuk kawasan hutan lindung atau HGU yang memerlukan skema baru untuk disepakati bersama,” jelasnya.
BRA juga berencana meluncurkan platform e-proposal pada 15 Februari 2025 untuk mempercepat pengumpulan data. Platform ini akan memuat informasi terkait mantan kombatan, eks tapol/napol, dan korban konflik, sekaligus membuka akses data yang lebih transparan.
“Hal ini bertujuan untuk menertibkan data dan mempermudah penyelesaian hak-hak mereka,” tuturnya.
Jamal menyebutkan bahwa pendataan korban konflik di Aceh menghadapi berbagai kendala, terutama bagi kelompok tahanan politik (Tapol) dan masyarakat yang menjadi korban. Hal ini berbeda dengan data mantan kombatan yang lebih terstruktur berkat adanya koordinasi dari pimpinan.
BRA menargetkan seluruh permasalahan korban konflik dapat diselesaikan dalam waktu lima tahun ke depan.
“Masih banyak yang harus diselesaikan, termasuk pemenuhan hak korban konflik. Kami membutuhkan dukungan pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat, termasuk media, untuk mempercepat penyelesaian ini,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Jamaluddin juga menekankan pentingnya sinergi dengan kementerian dan lembaga terkait, seperti Badan Pertanahan Nasional (BPN), untuk menyelesaikan persoalan lahan.
BRA juga tengah menggencarkan program roadshow ke lapangan guna menggali persoalan langsung dari masyarakat terdampak konflik. Program ini mencakup pencatatan kebutuhan pendidikan, pemenuhan hak tanah, dan bantuan lainnya.
“Kami berupaya menemukan akar masalah di lapangan agar program reintegrasi lebih tepat sasaran,” tambah Jamaluddin.
“Perdamaian Aceh harus menjadi momentum untuk membangun kembali kepercayaan dan keadilan bagi semua pihak yang terdampak konflik,” jelasnya. (*)