Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ombudsman RI Perwakilan Aceh menyebutkan bahwa tata kelola layanan rujukan pasien di Aceh masih mengalami masalah serius yang berdampak pada penelantaran pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ketiadaan kamar rawat inap di rumah sakit.
Dalam kajian yang dilakukan, Ombudsman mengidentifikasi beberapa kendala, terutama dalam pelaksanaan Aplikasi Sistem Rujukan Terintegrasi (Sisrute).
Kajian ini dilakukan di sejumlah wilayah, termasuk Kabupaten Aceh Barat, Aceh Timur, dan rumah sakit di Kota Banda Aceh, dengan melibatkan 41 responden dari 15 lokasi.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Aceh, Dian Rubianty, mengungkapkan bahwa hasil kajian menunjukkan ketidak-sempurnaan penggunaan Sisrute yang disebabkan oleh kurangnya sosialisasi dan bimbingan teknis bagi petugas.
Menurut Dian, masalah yang lebih mendasar adalah belum adanya harmonisasi dan sinkronisasi dalam tata kelola rujukan antara Kemenkes dan BPJS Kesehatan.
“Kami akan berkoordinasi dengan Ombudsman RI pusat, Kemenkes, dan BPJS Kesehatan untuk menindaklanjuti masalah ini,” ujarnya Rabu (18/12/2024).
Ombudsman juga mencatat bahwa meskipun sudah ada rapat koordinasi dengan rumah sakit dan dinas kesehatan pada akhir 2023, penerapan Sisrute masih belum optimal di berbagai rumah sakit di Aceh.
Untuk itu, Ombudsman menyarankan agar Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota di Aceh segera menerbitkan surat edaran yang mewajibkan fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan aplikasi tersebut dalam proses rujukan pasien.
Selain itu, Ombudsman juga mendorong Dinas Kesehatan Aceh untuk lebih intensif melakukan sosialisasi kepada seluruh dinas kesehatan di Aceh tentang penggunaan Sisrute. Dian juga menekankan pentingnya RSUDZA menyediakan informasi tentang ketersediaan kamar rawat inap secara real-time yang dapat diakses publik.
“Ombudsman mendorong tata kelola layanan rujukan yang lebih transparan dan akuntabel agar tidak ada lagi penelantaran pasien,” tegas Dian. (*)