Banda Aceh (Waspada Aceh) – Hampir dua dekade setelah Perjanjian Damai Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005, Aceh masih menghadapi tantangan dalam menjaga keberlanjutan perdamaian dan menjamin hak asasi manusia (HAM).
Meski menjadi tonggak penting dalam sejarah Aceh, proses damai masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah
yang belum selesai.
Isu ini mengemuka dalam diskusi publik bertajuk “Gerakan Hak Asasi Manusia dalam Turbulensi Demokrasi: Memastikan Kelanjutan Proses Damai Aceh” yang digelar oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) bersama Flower Aceh di Banda Aceh, Jumat, (14/12/2024).
Forum ini mempertemukan akademisi, aktivis, dan pemangku kepentingan untuk mengevaluasi perjalanan HAM di Aceh serta merumuskan langkah ke depan.
Direktur Eksekutif ELSAM, Wahyudi Djafar, mengatakan bahwa forum ini bertujuan untuk merefleksikan perjalanan HAM di Aceh sekaligus merumuskan langkah ke depan, terutama dalam memperkuat komitmen kolektif menjaga perdamaian.
“Mempertahankan perdamaian membutuhkan dasar yang kuat, yakni menjadikan HAM sebagai fondasi dari setiap kebijakan publik,” ujar Wahyudi.
Perempuan dalam Proses Perdamaian
Salah satu isu yang mencuat dalam diskusi adalah minimnya perhatian terhadap perempuan pasca-perjanjian damai. Aktivis perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, menilai bahwa kebijakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan belum berjalan maksimal.
“Perempuan Aceh menjadi pilar penting dalam proses damai, tetapi suara mereka sering diabaikan dalam pengambilan keputusan,” ujar Suraiya, yang juga akademisi di Universitas Syiah Kuala.
Menurut analisis Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), hanya 0,12 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) dialokasikan untuk isu perempuan.
Padahal, kekerasan terhadap perempuan, termasuk kasus pemerkosaan, masih menjadi persoalan serius. Suraiya menekankan pentingnya gender budgeting lintas sektor untuk memastikan kebijakan yang lebih inklusif.
Akademisi UIN Ar-Raniry, Reza Idria, menyoroti lambannya implementasi beberapa poin Perjanjian Damai Helsinki, termasuk perlunya pendidikan HAM yang lebih komprehensif di Aceh. Menurutnya, nilai-nilai HAM harus diperkenalkan secara luas, termasuk melalui pendekatan budaya lokal.
Akses Keadilan
Direktur LBH Banda Aceh, Aulianda Wafisa, mengungkapkan bahwa akses keadilan bagi masyarakat kecil masih menjadi tantangan besar.
“Dukungan pemerintah untuk advokasi HAM sangat penting. Tanpa itu, akses keadilan akan tetap menjadi masalah serius,” ujar Aulianda.
Ifdhal Kasim, mantan Ketua Komnas HAM, menambahkan bahwa demokrasi yang sehat hanya dapat terwujud jika HAM dihormati. “Aceh harus menjadi contoh bahwa perdamaian yang langgeng membutuhkan penghormatan hak-hak dasar masyarakat,” kata Ifdhal.
Ketua Komisioner KKR Aceh, Mastur Yahya, menyebutkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) berperan penting dalam menjaga keberlanjutan perdamaian di Aceh.
KKR Aceh saat ini mempercepat pengumpulan data korban, penyusunan program reparasi, dan pemberdayaan ekonomi berkelanjutan. Hingga kini, sebanyak 1.200 korban konflik tambahan telah terdata.
“Kami sedang merampungkan rancangan pelaksanaan reparasi yang telah disetujui pemerintah. Tim khusus telah ditunjuk untuk mempersiapkan implementasinya,” ujar Mastur.
Ia berharap rancangan tersebut segera selesai agar Gubernur Aceh yang baru dapat langsung menjalankan program ini.
Peluncuran Buku Refleksi HAM
Diskusi ini juga dirangkaikan dengan peluncuran dua buku bertema HAM: “Negara Pelindung Hak Asasi Manusia” dan “Suara Keadilan: Dedikasi Advokat untuk Gerakan HAM di Indonesia”. Kedua buku ini menjadi refleksi perjalanan advokasi HAM di Indonesia, termasuk di Aceh.
Moderator diskusi, Riswati, yang juga Direktur Eksekutif Flower Aceh, menyampaikan bahwa konsolidasi gerakan masyarakat sipil dan pengorganisasian sangat penting untuk memperkuat dan mengawal proses demokrasi dan keberlanjutan perdamaian di Aceh. Dibutuhkan pula keseriusan dan komitmen semua pihak di Aceh.
“Perdamaian bukan sekadar status politik, tetapi perjalanan panjang yang membutuhkan komitmen semua pihak. Tanpa komitmen dan kontribusi nyata, keberlanjutannya akan sulit terwujud,” ujar Riswati.
Diskusi ini dihadiri oleh berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, aktivis, dan perwakilan pemerintah. Hasil dari diskusi diharapkan menjadi langkah konkret untuk memastikan perdamaian Aceh tetap terjaga di tengah tantangan demokrasi. (*)