Nama Tengku Fakinah juga diabadikan dalam berbagai institusi, seperti Rumah Sakit Teungku Fakinah di Banda Aceh dan Akademi Keperawatan Yayasan Tengku Fakinah.
Di pedesaan Aceh Besar, berdiri kokoh sebuah bangunan tua yang menyimpan kisah luar biasa. Masjid Tengku Fakinah, dengan atap tumpang dua berbentuk limas dan tiang-tiang kayu penyangganya, bukan sekadar tempat ibadah.
Masjid ini adalah saksi perjuangan seorang perempuan tangguh, Tengku Fakinah, yang namanya kerap luput dari sorotan sejarah. Terletak di Gampong Blang Miro, Kecamatan Simpang Tiga, Kemukiman Lamkrak, masjid ini menyimpan jejak peradaban Islam masa lalu.
Meskipun sunyi tanpa aktivitas, bangunan yang ditetapkan sebagai situs cagar budaya pada 2020 ini tetap berdiri kokoh, menjadi pengingat akan jasa seorang ulama perempuan sekaligus panglima perang di era kolonial Belanda.
Jejak Perjuangan Tengku Fakinah
Lahir pada 1856 di Desa Lam Diran, Tengku Fakinah adalah sosok yang luar biasa. Ia mewarisi pendidikan agama dan strategi militer dari sang ayah, Tengku Asahan, seorang mantan pejabat di era Sultan Alaiddin Muhammad Daud Syah.
Sejak kecil, Fakinah dikenal cerdas dan kreatif, bahkan piawai dalam kerajinan tangan. Namun, takdir membawanya menjadi pejuang. Kehilangan suaminya, Teungku Ahmad, yang gugur di medan perang Pantai Cermin (Ulee Lheue), membuatnya bangkit.
Fakinah membentuk pasukan bernama Sukey, yang terdiri dari empat batalyon dengan jumlah pejuang hingga 1.000 orang per batalyon. Ia memimpin mereka dengan keberanian luar biasa, sekaligus menjadi penasihat spiritual bagi Cut Nyak Dhien.
Di balik keberanian di medan perang, Tengku Fakinah juga dikenal sebagai pendidik dan ulama. Masjid yang kini menyandang namanya dulu menjadi pusat pengajaran agama, dikenal dengan nama Yayasan Hadjah Fakinah Istiqamah. Sosoknya menjadi simbol perempuan Aceh yang kuat dan berkontribusi besar dalam perjuangan bangsa.
Suasana pedesaan yang asri menyambut para pengunjung Masjid Tengku Fakinah. Di belakang masjid, terdapat kolam tua dan sumur yang masih berfungsi.
Pengunjung kerap menggunakan air dari sumur itu untuk berwudhu sebelum melaksanakan shalat. Ketika melangkah ke dalam, arsitektur masa lalu terasa begitu hidup, meski keheningan menyelimuti ruangnya.
Sanusi, Ketua Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam, menjelaskan pentingnya masjid ini dalam sejarah Aceh. “Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol perjuangan Tengku Fakinah yang gigih di bidang militer dan pendidikan,” katanya.
Setelah menunaikan shalat dhuha, kami melanjutkan ziarah ke makam Tengku Fakinah yang terletak tak jauh dari masjid. Area pemakaman kini dipagari dan dilengkapi papan informasi yang memuat perjalanan hidup beliau.
Nama Tengku Fakinah juga diabadikan dalam berbagai institusi, seperti Rumah Sakit Teungku Fakinah di Banda Aceh dan Akademi Keperawatan Yayasan Tengku Fakinah.
Fina, salah seorang pengunjung, berharap situs ini lebih dikenal. “Masjid dan makam ini adalah pengingat bahwa perempuan Aceh sejak dulu memainkan peran besar dalam sejarah,” ujarnya.
Kisah Tengku Fakinah adalah bukti bahwa perempuan memiliki peran besar dalam perjuangan bangsa. Semangatnya yang tak kenal lelah menjadi inspirasi untuk menjaga warisan sejarah dan peradaban Islam di Aceh.
Masjid Tengku Fakinah tidak sekadar bangunan tua. Ia adalah simbol keberanian, pengorbanan, dan pendidikan, yang semangatnya harus terus hidup di hati generasi mendatang. (*)