“Di Pemerintah Aceh sendiri, dari 54 SKPA atau biro, kami hanya ada lima orang perempuan. Itu sudah termasuk wakil direktur RSUDZA”
– Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana –
Keterlibatan perempuan dalam Satuan Perangkat Kerja Aceh (SKPA) dianggap penting untuk mendukung kesetaraan gender dan memberikan kesempatan yang sama kepada perempuan untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah.
Salah satu dampak kurangnya keterlibatan perempuan dalam pemerintahan bisa menyebabkan kebijakan yang dihasilkan kurang berpihak atau responsif kepada kebutuhan perempuan. Sehingga keterlibatan perempuan perlu di dorong di jajaran pemerintahan maupun di parlemen.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, mengatkan dalam struktur pemerintahan Aceh maupun di parlemen keterlibatan perempuan masih rendah.
Dari 54 SKPA dan biro di Aceh, kata Meutia, hanya lima orang di antaranya perempuan yang memegang posisi penting. Yaitu Kepala Dinas Perkebunan Aceh, Direktur Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Aceh, Kepala DPPPA Aceh dan dua wakil Direktur RSUDZA.
“Dalam struktur pemerintahan Aceh, dari total 54 SKPA atau biro yang ada, saat ini hanya lima orang perempuan yang memegang posisi penting, termasuk di antaranya wakil direktur Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin (RSUZA),” sebutnya dalam diskusi di Banda Aceh.
Hal ini, kata Meutia, bahwa perempuan di bidang kesehatan juga sudah mampu berkarya. Tapi di bidang yang lain keterlibatan perempuan masih minim, termasuk bidang yang membawahi perempuan dan anak, sepeti di kabupaten/kota masih banyak dijabat oleh laki-laki.
Selain keterlibatan perempuan sebagai pemangku kepentingam masih rendah, keterlibatan perempuan di parlemen Aceh juga masih terhitung rendah. Kondisi ini mengarah pada kesan bahwa kehadiran perempuan di parlemen bersifat simbolis.
“Keterlibatan perempuan di parlemen Aceh masih rendah. Baru sekadar penghias yang penting ada 30 persen diterima,” sebutnya.
Selain karena kehadiran perempuan dianggap hanya sebagai syarat melibatkan 30 persen perempuan, kepercayaan pemilih perempuan untuk memilih perempuan itu masih rendah.
Karena itu, kata Meutia, perempuan harus tetap meningkatkan kompetensi untuk dapat dipilih baik sebagai pemangku kepentingan maupun di parlemen.
Dengan banyaknya keterlibatan perempuan di SKPA dan parlemen menurutnya akan memperkecil kesenjangan gender.
“Ini yang sering saya sampaikan, dan semoga kita sepakat bahwa perempuan akan berdaya jika mereka diberdayakan lebih dahulu untuk bisa mandiri. Sehingga perempuan berdaya itu akan lebih bisa melindungi diri sendiri dan anak,” sebutnya.
Dia menceritakan, bahwa dia pernah menemukan satu kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT. Si istri mendapatkan kekerasan dari ayahnya, namun setelah menikah dia mendapatkan kekerasan dari suaminya.
Namun ketika didesak untuk melapor, si istri tersebut tidak mau melaporkan. Karena dalam pikirannya, kekerasan yang diterimanya adalah hal yang biasa.
“Ini yang kita sayangkan. Sudah terbentuk mindset bahwa dia mendapatkan perlakuan kekerasan itu adalah hal yang biasa. Dan dia berpikir ketika suaminya nanti di tangkap atau ditahan bagaimana dia memberi makan untuk anak-anaknya ke depan,” jelasnya.
Hal ini kata Meutia, ketidakmandirian seseorang dari segi ekonomi bisa menjadi alasan perempuan untuk tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya.
“Jadi saya rasa sangat tepat. Perempuan harus berdaya dulu untuk bisa mandiri. Ketika mereka mandiri lebih berdaya mereka akan lebih berani untuk mengungkapkan kekerasan yang mereka alami,” tegasnya.
Jadi, perempuan yang tidak mandiri bisa menjadi penyebab tingginya angka kekerasan di Aceh. (*)