Banda Aceh (Waspada Aceh) – Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2024, angka kemiskinan di Aceh tercatat mencapai 14,23 persen atau sekitar 804,53 ribu jiwa.
Sementara itu, tingkat pengangguran menyentuh 5,56 persen atau sekitar 145 ribu jiwa per Februari 2024.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry, Prof. Dr. Hafas Furqani, solusi atas masalah ini harus melibatkan pemerataan akses terhadap sumber daya dan peluang kerja yang lebih merata.
“Masalah utama kita adalah minimnya lapangan pekerjaan yang berkualitas dan rendahnya keterampilan masyarakat dalam bersaing di pasar kerja,” ujar Prof Hafas kepada Waspadaaceh.com, Selasa (12/11/2024).
Ia menilai bahwa perekonomian Aceh masih terlalu bergantung pada sektor pertanian. Sebagian besar masyarakat memperoleh penghasilan dari menjual hasil komoditas tanpa adanya nilai tambah yang cukup.
Tantangan Hilirisasi dan Industrialisasi
Prof Hafas menjelaskan, sektor pengolahan di Aceh masih minim, sehingga hilirisasi atau proses pengolahan hasil pertanian untuk menciptakan produk bernilai tambah hampir tidak berjalan.
“Jika kita tidak mengembangkan industri pengolahan, komoditas pertanian hanya akan dijual dalam bentuk mentah, yang tentu tidak memberikan dampak signifikan pada pengurangan pengangguran,” katanya.
Ia juga mengatakan keterampilan tenaga kerja yang masih rendah sebagai salah satu penyebab tingginya pengangguran di kalangan generasi muda. Oleh karena itu, Hafas mendorong pemerintah Aceh agar menyusun program peningkatan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan industri saat ini.
Ekonomi Syariah
Prof Hafas juga menyebut bahwa sektor ekonomi syariah di Aceh memiliki potensi besar dalam mendorong pemerataan kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Ada dua manfaat utama yang bisa dimaksimalkan, yakni penghimpunan dan penyaluran dana bagi masyarakat.
Penghimpunan dana melalui perbankan syariah, wakaf, dan zakat dinilai dapat menjadi sumber penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan. Namun, menurut Prof Hafas, kebijakan pemimpin Aceh ke depan perlu mendukung peningkatan literasi keuangan syariah.
“Kolaborasi antara pemerintah dan lembaga keuangan syariah harus diperkuat untuk menciptakan produk yang bisa diakses UMKM dan kelompok rentan,” tuturnya.
Selain penghimpunan dana, penyaluran dana yang tepat sasaran juga penting. Pemimpin Aceh perlu merancang strategi agar dana wakaf dan zakat dapat disalurkan secara efektif untuk jaminan sosial, pengentasan kemiskinan, dan pertumbuhan ekonomi.
Sesuai amanat Qanun LKS 2018, perbankan syariah di Aceh diminta meningkatkan komitmen pembiayaan UMKM hingga 40% dari total pembiayaan. Kebijakan ini diharapkan dapat membantu memberdayakan ekonomi rakyat, sekaligus mendorong kesejahteraan masyarakat Aceh secara berkelanjutan.
Kebijakan Pro-UMKM
Untuk menurunkan angka pengangguran, Hafas menyarankan agar pemerintah Aceh memprioritaskan sektor UMKM dengan menyediakan akses pendanaan, pelatihan, dan pemasaran.
Ia juga mengusulkan penerapan prinsip ekonomi Islam dalam pola kemitraan berbagi risiko dan keuntungan, yang dapat meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perekonomian.
Di sisi lain, investasi di proyek infrastruktur berkelanjutan dan ramah lingkungan dapat menciptakan banyak lapangan pekerjaan dan memperbaiki taraf hidup masyarakat. Dengan kebijakan yang tepat, Hafas optimistis bahwa perekonomian Aceh dapat berkembang lebih inklusif dan membawa manfaat luas bagi masyarakat.
“Kebijakan-kebijakan ini diharapkan dapat membantu menekan angka pengangguran dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Aceh,” tutup Hafas. (*)