“Oleh karena itu, perundungan harus dicegah sejak dini agar bangsa Indonesia, khususnya Aceh, kelak tidak dipimpin oleh generasi korban atau pelaku perundungan”
Pemerintah Aceh terus mengkampanyekan gerakan anti perundungan atau setop bullying, dengan fokus pada pencegahan perundungan di berbagai lini, terutama di lingkungan sekolah. Sekolah menjadi tempat yang berisiko tinggi bagi terjadinya perundungan, baik antar teman sebaya maupun antara siswa dan tenaga pendidik.
Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh juga terus mengingatkan bahwa perundungan anak di sekolah sangat berbahaya, karena bisa berujung pada keinginan korban untuk bunuh diri.
“Bullying ini sangat berbahaya, karena bisa berujung pada keinginan korbannya untuk bunuh diri,” kata Kasi Pemenuhan Hak Anak Bidang Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan Bidang Pemenuhan Hak Anak DP3A Aceh, Chairil Amri, di Banda Aceh, Minggu (22/10/2023).
Dia menyampaikan, suasana di sekolah harus kondusif karena sebagian besar waktu peserta didik dihabiskan di sekolah, apalagi yang dengan sistem boarding.
Amri menjelaskan, perundungan terhadap sesama peserta didik biasanya terjadi karena korban dianggap lemah. Sementara bagi pelaku berpotensi menjadi pelaku kekerasan atau kriminal di masa mendatang.
“Oleh karena itu, perundungan harus dicegah sejak dini agar bangsa Indonesia, khususnya Aceh, kelak tidak dipimpin oleh generasi korban atau pelaku perundungan,” ujarnya.
Untuk mencegah perundungan di sekolah, kata dia, perlu pemahaman secara menyeluruh bagi semua insan sekolah.
“Perlu dipahami bahwa perundungan bukan hanya secara fisik saja, tetapi juga bisa secara verbal atau nonverbal. Guru juga harus bisa beradaptasi dengan pola-pola komunikasi Gen Z yang terlahir sebagai digital native,” katanya.
Dirinya berpesan, kepada warga sekolah agar sebisa mungkin menciptakan iklim yang sehat serta tidak memberikan sedikitpun ruang untuk perundungan.
“Entah itu perundungan oleh pendidik kepada peserta didik, oleh peserta didik kepada pendidik, maupun sesama peserta didik,” demikian Chairil Amri.
Sementara itu, menurut Asnawati, pemerhati Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), perundungan seringkali dilakukan oleh individu yang merasa memiliki kekuatan lebih dibandingkan korban.
“Biasanya, ini terjadi karena adanya abuse of power, di mana pelaku menggunakan posisi atau kekuatan yang dimilikinya untuk merundung orang yang dianggap lebih lemah,” ungkap Asnawati, yang juga Ketua Yayasan Lina Bireuen.
Perundungan sering berakar dari perbedaan, seperti prestasi yang rendah atau kekurangan pada kepribadian korban. Dalam kompetisi, misalnya, anak yang mendapatkan nilai rendah dapat menjadi sasaran ejekan atau mental abuse, yang dapat berkembang menjadi perundungan fisik.
“Tidak semua korban memiliki ketahanan mental untuk menghadapi ejekan. Ini bisa memicu perundungan lebih lanjut, bahkan kekerasan fisik,” tambahnya yang juga pengurus Persatuan Wanita Olahraga Indonesia (PERWOSI) Aceh ini.
Beberapa studi menunjukkan bahwa pelaku perundungan seringkali adalah mantan korban perundungan. Mereka mengalihkan dendam mereka kepada orang lain yang dianggap lemah.
Hal ini menciptakan dampak psikologis yang berkelanjutan bagi pelaku dan korban. “Pelaku yang pernah menjadi korban cenderung meniru perilaku tersebut pada orang lain, karena mereka merasa berhak membalas dendam,” kata Asnawati.
Dampak perundungan pada korban sangat serius. Selain merusak harga diri, korban perundungan cenderung menjadi pendiam, tertutup, dan kehilangan rasa percaya diri. “Korban akan sulit berekspresi, dan ini bisa terus berlanjut hingga dewasa jika tidak ada deteksi dini dari orang tua,” ungkap Asnawati.
Perundungan juga akan menciptakan rasa trauma yang berkepanjangan serta berkelanjutan pada korban. Dampak tersebut akan melekat pada korban sampai korban dinilai cukup berani menyampaikannya secara langsung telah menjadi korban perundungan itu sendiri.
Hal itu, tentunya, menurut Bunda Asna sapaan akrabnya menjadikan persoalan baru bagi para korban akan pemulihan mentalnya dengan cara mendeteksi dini. Deteksi dini adalah salah satunya dengan melakukan komunikasi kepada korban untuk mempertanyakan dan mengetahui bagaimana awal mula menjadi korban perundungan.
Dengan itu, maka korban sedapat mungkin diketahui dan dideteksi agar penanganan berkelanjutan bisa diberikan kepada korban.
“Pola komunikasi yang baik juga harus dibangun agar korban mau menyampaikan secara gamblang mengenai dirinya telah menjadi korban perundungan. Kemudian dilakukan penanganan yang tepat pula pada pelaku perundungan bukan lantas melakukan intimidasi. Hal ini yang perlu diketahui bersama,” ungkapnya.
Untuk memutus mata rantai perundungan, pencegahan sejak dini sangatlah penting. Kampanye anti-perundungan harus melibatkan peran aktif orangtua, bukan hanya di sekolah tetapi juga di lingkungan rumah.
“Perundungan tidak hanya terjadi di sekolah. Orangtua harus mendukung upaya pencegahan dengan memahami dampak yang dialami anak jika mereka menjadi korban,” jelasnya. (*)