Banda Aceh (Waspada Aceh) – Potensi pembangunan kebudayaan Aceh yang melimpah membutuhkan optimasi melalui tata kelola yang baik. Pemerintah perlu memiliki visi jangka panjang agar budaya ini dapat menjadi bagian dari pembangunan berkelanjutan.
Saat ini, tantangan utama yang dihadapi adalah kurangnya strategi terukur dalam pengambilan kebijakan, sehingga Aceh belum mampu meningkatkan Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK).
Pernyataan ini disampaikan oleh Reza Idria, Antropolog, yang menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry, dalam acara Dialog Keacehan yang melibatkan pasangan Calon Wakil Gubernur Aceh periode 2025-2030.
Acara ini merupakan kolaborasi antara Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah I Provinsi Aceh, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UIN Ar-Raniry, dan KNPI, yang berlangsung di Auditorium UIN Ar-Raniry pada Senin (4/11/2024) dengan fokus pada isu pendidikan, kebudayaan, dan kepemudaan.
Reza, yang juga Direktur Eksekutif International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS), menjelaskan bahwa budaya berfungsi sebagai modal sosial dan ekonomi yang berkelanjutan.
Sejak 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memperkenalkan Indeks Pembangunan Kebudayaan sebagai alat ukur resmi untuk menilai kesejahteraan suatu wilayah. Indeks ini mencakup berbagai aspek, termasuk ekonomi dan gender, bukan sekadar seni.
“Selama ini, kita cenderung melihat kebudayaan sebagai ekspresi seni semata. Namun, dimensi kebudayaan yang menjadi indeks pembangunan kebudayaan sangat menyeluruh, mulai dari ekonomi hingga gender,” ungkapnya.
Saat ini, Aceh berada di peringkat 22 nasional dalam IPK dengan nilai 53,33, jauh di bawah rata-rata nasional yang mencapai 57,13.
Survei oleh Bappenas, Kemendikbud, dan BPS pada 2023 menunjukkan bahwa Aceh memiliki potensi besar dalam pemajuan kebudayaan, berkat keberagaman unsur budaya seperti tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, permainan rakyat, olahraga tradisional, serta pengetahuan dan teknologi tradisional.
Meskipun Aceh memiliki karya budaya yang diakui oleh UNESCO, seperti Tari Saman, pengakuan ini tidak bersifat permanen. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa IPK Aceh masih berada di posisi 22, meskipun ada kesamaan dengan Indeks Pembangunan Nasional. Ini menunjukkan adanya masalah dalam tata kelola serta pemahaman tentang nilai dan fungsi budaya Aceh.
Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, pemerintah diharapkan dapat mengintegrasikan budaya ke dalam agenda pembangunan. Reza menekankan perlunya strategi terukur dan partisipasi masyarakat dalam perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Masyarakat juga diharapkan memiliki ruang untuk berekspresi.
Reza mencatat, meskipun Aceh tergolong daerah termiskin di Indonesia, survei BPS menunjukkan bahwa Aceh termasuk dalam kategori daerah paling bahagia. Hal ini mungkin disebabkan oleh kebebasan masyarakat Aceh dalam berekspresi melalui kebudayaan, namun budaya harus diarusutamakan dalam pembangunan.
Oleh karena itu, diperlukan tujuh elemen tata kelola kebijakan yang kuat, termasuk partisipasi masyarakat dalam menjaga dan menghargai cagar budaya Aceh yang memiliki nilai berkelanjutan.
Pemimpin Aceh yang baru diharapkan dapat merencanakan skema dana abadi kebudayaan agar potensi ini dapat dikelola dan dimanfaatkan secara optimal demi kesejahteraan masyarakat. (*)