Banyak kasus perkawinan anak tidak tercatat secara resmi, termasuk yang tidak tercatat oleh negara.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terlibat dalam pencegahan pernikahan di bawah usia 19 tahun.
Menurutnya, pernikahan anak adalah masalah kompleks yang memerlukan sinergi antara pemerintah, tokoh agama, komunitas lokal, LSM, dan lembaga pendidikan.
Meutia menekankan bahwa kampanye pencegahan tidak bisa hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga memerlukan kolaborasi luas.
“Regulasi penting untuk melindungi anak-anak, tetapi keterlibatan masyarakat jauh lebih penting untuk mencegah praktik pernikahan dini,” ujarnya baru-baru ini.
Aceh memiliki dokumen Strategi Daerah (STRADA) untuk menekan angka pernikahan anak. Meski ada batas usia minimum 19 tahun melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, permohonan dispensasi nikah masih sering terjadi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka perkawinan anak di Aceh pada 2019 mencapai 6,59 persen, meningkat dari 5,29 persen pada tahun sebelumnya.
Meningkatnya angka ini menunjukkan perlunya kebijakan yang lebih kuat dan terkoordinasi. “Data Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat 582 kasus dispensasi nikah pada 2023,” tambah Meutia, dengan angka tertinggi di Kabupaten Pidie, Aceh Tengah, dan Aceh Utara.
Meutia mengingatkan bahwa angka ini kemungkinan hanya sebagian kecil dari kasus yang ada. “Banyak kasus perkawinan anak tidak tercatat secara resmi, termasuk yang tidak tercatat oleh negara,” tuturnya.
Dampak pernikahan dini mencakup risiko kesehatan, hilangnya kesempatan pendidikan, hingga ancaman kekerasan dalam rumah tangga. Anak-anak yang menikah muda rentan terhadap kemiskinan, memperburuk siklus kemiskinan.
DPPPA Aceh meluncurkan program peningkatan kualitas keluarga dengan lima dimensi: legalitas, ketahanan fisik, ekonomi, sosial-psikologi, dan sosial-budaya. Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat diharapkan dapat menciptakan generasi yang sehat dan berpendidikan.
Penelitian dari International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS) menunjukkan bahwa faktor ekonomi, rendahnya pendidikan, dan norma budaya mempengaruhi pernikahan anak.
Direktur ICAIOS, Dr. Reza Idria, menyoroti perlunya pendekatan edukasi yang mendalam agar masyarakat memahami risiko jangka panjang pernikahan dini. ICAIOS merekomendasikan pembentukan tim khusus untuk koordinasi pencegahan dan edukasi dampak negatif pernikahan dini di sekolah. (*)