“Terhadap pelaku yang merupakan orang terdekat atau inses sangat disayangkan sekali, karena seharusnya mereka orang pertama yang melindungi si anak”
– Kepala DP3A Aceh, Meutia Juliana –
Di samping Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh mengapresiasi keberanian korban kekerasan untuk melapor, di satu sisi juga mereka miris terhadap kejadian-kejadian yang menimpa korban, apalagi korbannya adalah anak.
Jika dilihat berdasarkan data yang terlapor, memang benar angka kekerasan terhadap anak lebih tinggi dibandingkan dengan angka kekerasan terhadap perempuan.
Secara umum angka kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di tahun 2023 sebanyak 1.098 kasus. Di antara angka tersebut sebanyak 634 kasus dialami oleh anak.
Sementara selama periode Januari-Agustus 2024, angka kekerasan terhadap anak di Aceh sebanyak 445 kasus.
Masih ada kemungkinan penambahan angka kekerasan terhadap anak di Aceh. Sebab masih ada empat bulan lagi yang belum terekap.
Masih sama dengan tahun sebelumnya, angka kekerasan terhadap anak di Aceh masih di dominasi di Kabupaten Aceh Utara yaitu sebanyak 51 kasus, kemudian disusul oleh Aceh Tengah dan Bireuen masing-masing 33 kasus. Kemudian posisi keempat dan kelima tertinggi angka kekerasan terdapat di Kota Langsa dan Banda Aceh, masing-masing sebayak 32 kasus.
Dari kasus tersebut, bentuk kekerasan yang paling banyak diterima anak adalah pelecehan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, pemerkosaan dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, mengatkan belum.lama ini, pelecehan seksual marak terjadi akhir-akhir ini. Berdasarkan riset, pelaku pelecehan seksual ini sering punya hubungan kekeluargaan dengan korban.
Tidak jarang, pelecehan seksual dilakukan oleh ayah tiri kepada anak tiri, ayah kandung ke anak kandung, abang tiri ke adek tiri, paman kepada keponakan, kakek kepada cucu, guru dengan murid dan ustadz dengan santri. Ini sangat memprihatinkan dan tentunya perlu diwaspadai.
“Terhadap pelaku yang merupakan orang terdekat atau inses sangat disayangkan sekali karena seharusnya mereka orang pertama yang melindungi si anak bukan.justru mereka adalah pelaku,” sebutnya di Banda Aceh.
Menurutnya pelecehan seksual yang diterima oleh anak juga ada kemungkinan lebih dari sekali dan kasusnya sering berlarut akibat korban atau keluarga enggan untuk melaporkan.
“Karena sebagian besar merasa itu adalah aib, apalagi dilakukan oleh orang terdekat,” sebutnya.
Selain dilakukan oleh orang terdekat, kekerasan ini juga sering dilakukan pada keluarga yang tidak utuh atau keluarga yang sudah terpisah.
Selanjutnya, pelecehan seksual juga
rentan dilakukan terhadap korban yang memiliki latar belakang pendidikan yang rendah, pendapatan yang rendah. Karena korban juga tidak memahami bahwa kekerasan atau pelecehan yang diterimanya merupakan salah satu tindak pidana.
“Bahkan mereka merasa hal tersebut sepele dan tidak perlu ditindak lanjuti, apalagi terhadap keluarga terdekat,” jelasnya.
Hukum Berat Pelaku
DPPPA berharap penegak hukum tidak tebang pilih menghukum pelaku seberat-beratnya, meskipun pelaku adalah orang terdekat termasuk ayah dari korban.
“Kami berharap apabila mereka terbukti adalah pelakunya bisa dihukum dengan seberat-beratnya hukuman atau diberikan hukuman yang maksimal,” jelas Meutia.
Pemberian hukuman ini, kata Meutia, agar dapat menjadi contoh dan pembelajaran bagi yang lain.
Hal senada juga disampaikan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Irpannusir. Dia juga sangat prihatin terhadap angka kekerasan terhadap anak di Aceh yang terus meningkat.
Irpannusir mengatakan sangat menyayangkan dan prihatin masih tingginya angka kekerasan di Aceh. Bila melihat jumlah kasus kekerasan di Aceh, dari tahun ke tahun selalu meningkat.
Padahal kata Irpannusir, Aceh merupakan daerah yang kental menganut syariat Islam, yang tentunya tahu bagaimana memuliakan perempuan dan menjaga anak. Namun kasus ini terus saja bertambah.
Karena itu, kata Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) ini ada yang salah dalam mengatasinya. Dia menilai, salah satunya pemberian hukuman kepada para pelaku kekerasan belum memberikan efek jera, sehingga hal ini terus berulang.
Karena itu, dia mendorong kepada pihak yang berwenang untuk konsisten memberikan sanksi yang membuat efek jera kepada pelaku. Dia khawatir jika tidak terus dilakukan maka ditakuktkan kasus kekerasan terhadap anak di Aceh terus meningkat.
“Sangsi berupa efek jera yang harus konsisten kita terapkan terhadap pelaku, jika ini tidak secara konsisten kita terapkan pasti kasus yang sama akan terus terulang,” sebutnya.
Selain itu, dia juga meminta kepada aparat penegak hukum untuk terus menindak lanjuti setiap kasus kekerasan yang terjadi apalagi terhadap anak.
“DPRA merasa sangat prihatin dan meminta kepada aparat penegak hukum untuk terus menindak lanjuti setiap kasus kekerasan tersebut,” tutupnya. (*)