Selasa, November 5, 2024
BerandaLaporan KhususAngka Perceraian Tinggi di Aceh, DPRA: Bermula dari Ketidaksiapan Pasangan Muda

Angka Perceraian Tinggi di Aceh, DPRA: Bermula dari Ketidaksiapan Pasangan Muda

“Angka perceraian bermula dari ketidaksiapan pasangan muda. Atau kawin terpaksa atau Married By Insiden”

Kasus perceraian sejak tahun 2018-2022 terus meningkat. Berdasarkan jumlah putusan cerai talak dan gugat cerai yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syariah Aceh, tahun 2018 sebayak 5.169 putusan, di tahun 2019 meningkat menjadi 6.084 putusan, di tahun 2020 meningkat lagi sebanyak 6.090.

Di tahun 2021 meningkat signifikan menjadi 6.448 dan di tahun 2022 sebanyak 6.916. Angka ini terus meningkat walaupun di tahun 2023 turun menjadi 6.091.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, mengatakan sejak tiga tahun terakhir, cerai gugat (gugatan cerai yang diajukan oleh istri) lebih banyak dari cerai talak.

“Di tahun 2021 sebanyak 4.974 perempuan gugat cerai suami, di tahun 2021 sebanyak 5.292 istri gugat cerai suami dan di tahun 2023 sebayak 4.726 istri gugat cerai suami,” jelasnya di Banda Aceh.

Rata-rata perceraian ini, kata Meutia, karena ketidakcocokan dalam rumah tangga, masalah ekonomi dan kehadiran pihak ketiga.

Faktor Ekonomi Penyebab Cerai

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Nurchalis mengatakan perceraian memang takdir dari Allah. Namun di balik perceraian itu tentu ada sebab dan akibatnya kenapa rumah tangga bisa berujung pada perceraian.

Jika dilihat dari lingkungan sekitar, angka perceraian di Aceh memang meningkat dan rata-rata diajukan oleh istri. Perceraian bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ketidaksiapan pasangan untuk menikah, faktor ekonomi, tidak cocok dalam rumah tangga maupun hadirnya orang ketiga.

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Nurchalis. (Foto/Ist)

Namun, penyebab perceraian ini, kata Nurchalis, kebanyakan karena faktor ekonomi yang berimbas kepada hal-hal ketidakharmonisan dalam membina rumah tangga.

“Akibat kebutuhan tidak terpenuhi jadi gejolak emosional dan tiba-tiba tidak bisa mengendalikan emosional sehingga berakibat fatal yaitu dengan memutuskan untuk bercerai,” jelasnya kepada Waspadaaceh.com, Kamis (31/10/2024).

Karena itu, dia sangat prihatin atas tingginya perceraian di Aceh. Lebih-lebih perceraian ini disebabkan oleh masalah ekonomi.

Oleh karena itu, dia meminta semua stakeholder dan juga Pemerintah Aceh untuk mengantisipasi penyebab perceraian itu. Hal ini bisa diantisipasi dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang bisa menjamin kehidupan dalam rumah tangga dan peningkatan produktivitas pendapatan masyarakat juga harus ada.

Jika itu terpenuhi, dia yakin sedikit tidaknya angka perceraian di Aceh bisa dikurangi.

“Sendi-sendir dalam persoalan itu harus menjadi perhatian dari pada semua stakeholder terutama Pemerintah Aceh,” tegas anggota DPRA dari Fraksi Nasdem ini.

Oleh karena itu, Mantan Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa/ Kepala ULP Sekdaprov Aceh ini mendorong Pemerintah Aceh untuk menyediakan lapangan pekerjaan, termasuk kepada generasi muda. Tingginya angka perceraian di Aceh juga bisa menjadi acuan Pemerintah Aceh untuk menyusun kebijakan ke depan bagaimana angka perceraian di Aceh bisa diminilisir.

Ketidaksiapan Pasangan Muda

Pemerhati sekaligus Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Bardan Sahidi mengatakan pernikahan dini merupakan salah satu penyebab utama perceraian yang disebabkan oleh ketidaksiapan pasangan. Baik itu ketidaksiapan pasangan muda dari segi mental atau pun ekonomi.

Pemerhati sekaligus Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Bardan Sahidi. (Foto/Ist)

“Angka perceraian bermula dari ketidaksiapan pasangan muda. Atau kawin terpaksa atau Marries By Insiden,” sebutnya kepada media ini.

Artinya, kata Bardan, ketika terpaksa dinikahkan, kepala keluarga belum siap memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sehingga hal ini dapat memicu pertengkaran dalam rumah tangga yang berujung pada perceraian.

Menurutnya, perceraian erat kaitannya dengan pernikahan dini. Karena itu, dia mengimbau kepada masyarakat tidak menikahkan anaknya di bawah umur 19 tahun.

Batas usia minimal untuk menikah di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yaitu 19 tahun untuk laki-laki dan perempuan.

Selain menghindarkan anak dari menikah muda, berbagai pencegahan perlu dilakukan salah satunya menghindarkan anak dari pergaulan bebas. Oleh sebab itu peran keluarga, orangtua, lingkungan dan pemerintah sangat dibutuhkan.

Kehadiran pemerintah, harus menjamin hak semua anak, memberikan pendidikan yang gratis, menyediakan lapangan pekerjaan dan melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat gampong.

“Namun hak itu sering terkendala seperti jepitan ekonomi, lapangan pekerjaan sehingga usia belasan yang harusnya masih usia bermain, mereka ini sudah terbebani dengan ekonomi,” tutupnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER