Selasa, Oktober 22, 2024
BerandaEkonomiDilema Nelayan dan Bayang-bayang Energi Fosil

Dilema Nelayan dan Bayang-bayang Energi Fosil

“Kami sudah terbiasa dengan kondisi ini melihat batu bara tercecer di pantai dan kami ikut mengumpulkan untuk mendapatkan penghasilan tambahan”

Abu Bakar (55), duduk termenung di atas sebatang kayu yang terdampar di tepi Pantai Peunaga Rayeuk, Kabupaten Aceh Barat. Sambil menunggu hasil tangkapan dari jaring yang ia pasang dua kilometer dari bibir pantai.

Abu sebagai nelayan tradisional ini menggantungkan hidup di laut. Ia mengeluhkan kondisi cuaca yang buruk dan ikan yang susah didapat.

“Sudah jarang dapat ikan sekarang, cuaca tak menentu,” kata Abu saat ditemui waspadaaceh.com, Rabu(29/8/2024) siang.

Selain cuaca yang tidak menentu, kondisi perairan juga semakin berubah. Saat hujan tiba, air di perairan keruh , menguning dan berbuih. Sepanjang pantai, sampah plastik dan limbah kayu berserakan, terbawa arus setelah hujan lebat. Di antara tumpukan sampah, butiran batu bara tercecer, menghitamkan pasir pantai. Pemandangan ini telah menjadi hal biasa di pantai yang dulu menjadi sumber kehidupan bagi para nelayan.

Abu telah menjadi nelayan sejak tahun 1980-an, tinggal di Kecamatan Meureubo Aceh Barat. Dahulu, kata Abu, di kawasan ini adalah pusat perikanan yang produktif, surga bagi para nelayan. Ia mengenang masa kejayaan kawasan itu sebelum bencana tsunami dan hadirnya industri di sekitar pantai mengubah segalanya.

“Dulu, pantai ini jadi andalan nelayan. Sekarang, malah batu bara yang lebih sering terjaring,” cerita Abu, ayah dua anak ini sambil mengusap dahinya yang mulai berkerut.

Ketika hasil tangkapan berkurang dan cuaca ekstrim, kondisi ini memaksa para nelayan menghentikan aktivitas melautnya dan memilih untuk mencari pekerjaan serabutan, misalnya bekerja sebagai buruh tani maupun kuli bangunan.

“Selain mencari ikan, saya juga berkebun,dan kerja serabutan,” tuturnya.

Warga desa kerap menjadi pengumpul batu bara, mengais tumpahan yang bercecer di sepanjang pantai untuk dijual kepada perusahaan tambang seharga Rp25 ribu per karung.

Sambil menunggu tangkapan ikan, Abu dan warga lainnya terlihat sibuk mengais tumpukan batu bara yang terdampar di pantai.

“Kami sudah terbiasa dengan kondisi ini melihat batu bara tercecer di pantai ini. Kami ikut mengumpulkan batu bara untuk mendapatkan penghasilan tambahan,” ujarnya sambil mengumpulkan batu bara yang kemudian dimasukkanke dalam karung.

Meskipun hasil tangkapan berkurang di musim timur ini, Abu tetap berusaha mencari rezeki untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. “Setidaknya bisa cukup untuk makan sehari-hari. Kalau ada rezeki buat makan saja, sudah bersyukur,” ujarnya.

Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perikanan Aceh Barat yang dilansir di website dkp.acehbaratkab.go.id, produksi perikanan Aceh Barat cenderung fluktuatif. Pada 2022, produksi mencapai 21 ribu ton dengan nilai lebih dari Rp504 miliar.

Sepanjang Januari hingga September 2023, produksi menurun menjadi 15 ribu ton dengan nilai lebih dari Rp413 miliar. Penurunan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti musim penangkapan, lokasi tangkapan, kondisi oseanografi, overfishing, illegal fishing (IUU fishing), dan faktor lainnya.

Tak jauh dari pantai tempat Abu menjaring ikan, cerobong asap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) menjulang tinggi, mengirimkan asap ke langit sebagai tanda mesin-mesin besar terus bekerja menggerakkan listrik untuk wilayah sekitarnya. Kawasan itu juga dekat dengan dua perusahaan besar, yakni industri batu bara PT Mifa Bersaudara di Desa Peunaga Cut, Aceh Barat, dan PLTU 1-2 Nagan Raya di Desa Suak Puntong, Nagan Raya.

Menurut Pegiat Lingkungan, Direktur Apel Green, Syukur Tadu, ia khawatir terhadap industri yang masih mengandalkan bahan bakar fosil, yang semakin membebani lingkungan.

Batu bara sebagai bahan bakar fosil menghasilkan polusi udara seperti karbon dioksida yang memicu perubahan iklim serta zat berbahaya lain yang merusak kesehatan dan lingkungan.

Tumpahan batu bara mencemari pantai dan perairan, merusak habitat ikan. Selain itu, PLTU yang terus mengeluarkan asap juga mengancam kesehatan warga dan meningkatkan efek rumah kaca yang memicu perubahan iklim.

Warga memungut tumpahan batu bara di Pantai Peunaga Rayeuk, Kabupaten Aceh Barat. Rabu (29/8/2024). (Foto/Cut Nauval D.)

“Peralihan ke energi terbarukan dan praktik industri yang lebih berkelanjutan diharapkan dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, menciptakan ekosistem yang lebih sehat, dan mendukung keberlangsungan hidup nelayan,”jelasnya.

Menurut Perencana Monitoring dan Evaluasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, Munawir, jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan energi bersih, langkah yang harus diambil adalah pensiun dini PLTU dan beralih ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, mikro hidro, panas bumi, dan gelombang laut.

“Saat ini, sumber energi listrik Aceh masih dominan dari PLTU. Seharusnya PLTU dipensiunkan dan diganti dengan pembangkit yang ramah lingkungan. Meskipun telah ada program co-firing, risiko deforestasi dan permintaan batubara tetap akan meningkat,” kata Munawir.

Indonesia, bersama negara lain, berkomitmen menangani emisi melalui Perjanjian Paris. Perjanjian ini meminta setiap negara menargetkan pengurangan emisi dan mencapai Emisi Nol Bersih(Net-Zero Emission). Untuk itu, Pemerintah mulai perlahan beralih dari energi fosil seperti minyak bumi, gas alam, dan batu bara ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.

Menurut data Global Energy Monitor sepanjang tahun 2022, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di seluruh dunia menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2) sekitar 8,99 miliar ton, Indonesia berada di peringkat ke-6 dengan emisi sebesar 214 juta ton CO2.

Potret Energi di Aceh

Provinsi Aceh memiliki potensi energi terbarukan sebesar 3.619 megawatt yang berasal dari sumber seperti tenaga air, panas bumi, biomassa, tenaga surya, dan angin. Meski demikian, pembangkit energi terbarukan saat ini hanya menyumbang 4,1 persen. Diharapkan, dengan berkembangnya industri, peralihan ke energi ramah lingkungan akan semakin dipercepat.

Kepala Bidang Energi dan Ketenagalistrikan Dinas ESDM Aceh, Dedi Muhamad Roza, menyebutkan target bauran EBT di Aceh adalah 25% pada tahun 2025 dan 41,3% pada tahun 2050, lebih tinggi dari target nasional. Namun sampai tahun 2023, realisasi bauran energi di Aceh baru mencapai 12,12%.

“Meski realisasi masih rendah, kita optimis keberadaan PLTA Peusangan yang akan beroperasi pada akhir 2024 realisasinya akan meningkat drastic,” tuturnya.

Sementara itu, menurut data Yayasan Indonesia Cerah, dalam laporan bertajuk Kupas Tuntas Kebijakan Transisi Energi Presiden Jokowi: Maju atau Mundur?, transisi energi Indonesia dalam dekade terakhir masih sangat lambat. Bahkan, komitmen untuk beralih ke energi bersih dipertanyakan karena produksi batubara sebagai energi kotor justru meningkat.

Di tengah gencarnya wacana transisi energi, pemerintah tampak lebih serius mengurus energi fosil dan ekonomi berbasis tambang. Revisi UU Minerba menjadi UU No. 3/2020 dan UU Cipta Kerja yang memberikan berbagai insentif bagi perusahaan tambang adalah bukti nyata arah kebijakan tersebut.

Yayasan Indonesia Cerah merekomendasikan agar kebijakan energi di Indonesia segera diperbarui karena UU No. 30/2007 tentang Energi, yang menjadi acuan saat ini, sudah tidak relevan dengan konteks terkini. UU tersebut disahkan sebelum Indonesia meratifikasi Perjanjian Paris sebagai komitmen untuk menurunkan emisi. Oleh karena itu, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo-Gibran, perlu menyesuaikan dan memperbarui undang-undang tersebut guna mempercepat transisi energi.

Selain itu, penggunaan istilah “energi baru” yang masih mendukung energi fosil harus dihilangkan dari RUU EBET dan RPP KEN yang sedang dibahas oleh DPR dan DEN. Hal ini penting karena kedua regulasi tersebut akan menjadi dasar penyusunan dokumen strategis untuk mencapai transisi energi, seperti Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Rencana Umum Energi Daerah (RUED), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Abu dan teman-teman nelayan yang lain hanya bisa berharap lingkungan sekitar pantainya tetap terjaga, tak lagi tercemar oleh limbah industri yang semakin merusak.

“Saya berharap kita bisa beralih ke energi yang benar-benar bersih dan ramah lingkungan,” ungkapnya.

Bagi Abu, listrik memang penting, tetapi lebih penting lagi menjaga laut yang menjadi sumber penghidupannya agar tetap lestari. Energi bersih bukan hanya soal teknologi, tapi tentang menjaga keseimbangan alam yang selama ini menjadi tumpuan hidup nelayan seperti dirinya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER