Dalam lima tahun terakhir, Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat 2.784 permohonan dispensasi nikah.
Pernikahan usia anak masih menjadi tantangan serius di Aceh, karena itu perlu sosialisasi dan edukasi yang lebih masif untuk mencegahnya.
Meski pemerintah telah menetapkan batas usia minimum perkawinan bagi perempuan dan laki-laki adalah 19 tahun melalui Undang-Undang No. 16 Tahun 2019, permohonan dispensasi nikah masih marak terjadi. Upaya pencegahan harus digalakkan semua stakeholder.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, Meutia Juliana, melalui Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak, Tiara Sutari mengungkapkan, kasus pernikahan usia di bawah 19 tahun di Aceh masih cukup tinggi.
Menurutnya hal itu dibuktikan, salah satunya disebabkan oleh banyaknya dispensasi nikah yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah.
“Dalam lima tahun terakhir, Mahkamah Syar’iyah Aceh mencatat 2.784 permohonan dispensasi nikah. Ini angka yang mengkhawatirkan dan harus segera ditangani,” kata Tiara, belum lama ini.
Risiko pernikahan usia dini cukup serius, termasuk kematian bayi, bayi lahir prematur, kurang gizi, dan stunting. Selain dampak fisik, pernikahan anak juga berdampak pada kesehatan psikologis, baik bagi anak perempuan maupun laki-laki.
Untuk menangani masalah ini, DP3A Aceh bekerja sama dengan lembaga riset ICAIOS untuk meneliti akar masalah pernikahan anak. Selain itu, DP3A tengah menyusun Strategi Daerah Perlindungan Anak (STRADA PPA).
Tiara mengajak semua pihak, termasuk tokoh agama, aktif menyosialisasikan pencegahan pernikahan anak. Pendidikan calon pengantin yang mencakup materi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga dinilai penting.
“Upaya untuk mewujudkan generasi penerus bangsa yang tangguh dan berdaya saing dapat segera diwujudkan jika semua pihak berperan aktif dalam pencegahan pernikahan usia dini,” tambahnya.
Kolaborasi antara pemerintah, lembaga riset, tokoh agama, dan masyarakat diharapkan mampu menekan angka pernikahan anak di Aceh, sehingga generasi penerus dapat tumbuh sehat, berpendidikan, dan berdaya saing. (*)