Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaPariwaraCegah Perkawinan di Bawah Usia 19 Tahun

Cegah Perkawinan di Bawah Usia 19 Tahun

Perkawinan anak di bawah usia 19 tahun masih menjadi masalah serius di Aceh.

Meski perkawinan anak di bawah usia 19 tahun bertujuan meringankan beban ekonomi keluarga, praktik ini justru memperburuk masalah. Seperti kekerasan dalam rumah tangga, kesehatan reproduksi, dan putus sekolah.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, baru-baru ini menegaskan bahwa perkawinan anak merupakan pelanggaran hak-hak dasar, seperti hak atas pendidikan dan perlindungan.

“Perkawinan anak merampas masa depan mereka,” ujar Meutia.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka perkawinan anak di Aceh pada 2019 mencapai 6,59%, naik dari 5,29% pada 2018. Angka ini masih menjadi fenomema gunung es karena banyak perkawinan tidak tercatat, terutama di pedesaan.

Sementara itu, permohonan dispensasi nikah terus meningkat. Data Mahkamah Syariah menunjukkan adanya lonjakan dari 75 kasus pada 2018 menjadi 882 kasus pada 2021. Meskipun angka ini turun pada 2023, masalah tersebut tetap mengkhawatirkan.

Anak yang menikah di usia muda menghadapi risiko besar dalam akses pendidikan, kesehatan, dan ekonomi. Banyak dari mereka mengalami kekerasan rumah tangga dan ketidakjelasan status hukum anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

DPPPA Aceh menekankan pentingnya pendekatan komprehensif dalam menangani masalah ini. Salah satu upaya pemerintah adalah peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) yang mendorong penguatan regulasi, peningkatan layanan, dan kolaborasi lintas sektor.

Pemerintah Aceh sendiri tengah merumuskan Strategi Daerah Pencegahan Perkawinan Anak (Strada PPA) sebagai kelanjutan dari kebijakan nasional.

Beberapa tahapan telah dilakukan, termasuk seminar dan workshop yang diadakan pada April 2023 untuk sosialisasi Stranas PPA. Penelitian mendalam terkait perkawinan di bawah usia 19 tahun juga sedang berlangsung sejak Desember 2023 hingga Juni 2024, dengan tujuan menggali penyebab dan dampak perkawinan anak di Aceh secara kontekstual.

Peluncuran laporan hasil penelitian ini pada Agustus 2024, yang akan menjadi dasar bagi penyusunan kebijakan Strada PPA Aceh. Langkah ini diharapkan bisa memberikan arah baru dalam upaya mencegah perkawinan anak di Aceh, dengan menyesuaikan kebijakan berdasarkan kearifan lokal dan tantangan di lapangan.

Upaya yang dilakukan Pemerintah Aceh sejalan dengan sasaran strategis STRANAS PPA, yang meliputi optimalisasi kapasitas anak, menciptakan lingkungan yang mendukung pencegahan perkawinan anak, serta penguatan regulasi dan koordinasi lintas sektor. Dukungan dari berbagai pihak, termasuk tokoh masyarakat dan lembaga terkait, menjadi kunci sukses implementasi strategi ini.

Meutia berharap dengan adanya STRADA PPA, Aceh dapat menjadi provinsi yang mampu melindungi anak-anak dari praktik perkawinan usia dini yang merugikan. “Kehadiran negara melalui regulasi ini sangat penting, tapi yang tak kalah penting adalah keterlibatan masyarakat dalam mencegah perkawinan anak,” tutupnya.

Pemerintah Aceh melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan beberapa program kegiatan untuk mendorong terciptanya lingkungan yang kondusif, aman dan nyaman bagi perempuan dan anak mulai dari tingkat gampong.

Di antaranya program peningkatan kualitasn keluarga untuk memperkuat 5 (lima) dimensi kualitas keluarga yaitu dimensi legalistas, dimana pada dimensi ini diharapkan setiap keluarga memiliki legalitas, anak- anak memiliki akte kelahiran dan penyediaan waktu untuk bersama dengan keluarga.

Dimensi ketahanan fisik, dimana pada dimensi ini diharapkan setiap keluarga mampu memenuhi kebutuhan fisik.

Dimensi Ketahanan ekonomi, dimensi ketahanan sosial psikologi dan dimensi ketahanan sosial budaya. Pelaksanaan program ini dilakukan secara terpadu, baik pemerintah, masyarakat , TP-PKK atau lembaga mitra yang memiliki program terkait perempuan dan anak.

“Kerjasama semua pihak sangat penting untuk memutus rantai perkawinan anak dan melindungi generasi muda,” tutur Meutia. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER