Jumat, Oktober 4, 2024
BerandaGaya HidupBagaimana Batik Aceh di Tangan Generasi Muda?

Bagaimana Batik Aceh di Tangan Generasi Muda?

Aceh Besar (Waspada Aceh) – Seni batik Aceh terus lestari berkat tangan-tangan terampil para pengrajin di Rumoh Batik, Pagar Air, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Jurnalis mengunjungi tempat ini tepat pada peringatan Hari Batik Nasional, 2 Oktober, menyaksikan bagaimana tradisi berusia ratusan tahun itu tetap hidup.

Koordinator Instruktur di Rumoh Batik, Oliya menyambut kedatangan jurnalis dengan senyum ramah. Pria asal Cirebon yang telah mencintai dan merawat batik Aceh sejak 2007 itu mengungkapkan keindahan batik yang kental dengan unsur alam dan budaya lokal.

“Batik Aceh unik, karena memadukan motif-motif khas seperti pinto Aceh, pucok reubong, rencong, dan motif dari Aceh Gayo,” ujarnya.

Di ruang kerja, terlihat lima pengrajin sibuk menciptakan karya seni batik. Salah satunya adalah Nina, yang dengan teliti menembok kain batik bermotif Aceh Barat Daya dan Aceh Singkil.

Proses pembuatan batik Aceh tidak instan—dari kain putih yang dipola, dicap, mencanting, mencolet, hingga pewarnaan dan penjemuran, semuanya dilakukan dengan penuh kesabaran.

Motif-motif tradisional Aceh seperti pinto Aceh, pucok reubong, rencong, hingga kipas dari Abdya, menjadi favorit para konsumen.

“Dalam sebulan, kami bisa menerima pesanan hingga 200 lembar kain dari berbagai instansi di Aceh,” kata Oliya.

Setiap kain yang diproduksi berukuran 2,5 meter, menggunakan bahan katun berkualitas tinggi yang nyaman dan tahan lama.

Namun, proses pembuatan batik tidak selalu berjalan mulus. Salah satu tantangan utama yang dihadapi para pengrajin adalah cuaca yang tidak menentu. Proses pewarnaan batik membutuhkan sinar matahari yang cukup, dan hujan yang tiba-tiba dapat mengganggu penjemuran kain.

“Kalau hujan, kami harus segera memasukkan kain-kain yang sudah dicelup. Kalau tidak, warnanya bisa luntur,” kata Oliya.

Selain cuaca, persaingan dengan produk tekstil bermotif batik juga menjadi tantangan tersendiri. Selain itu, persaingan dengan produk tekstil imitasi yang meniru motif batik semakin mempersulit para pengrajinOliya menekankan tekstil bermotif batik tidak bisa disebut batik asli.

“Batik itu dibuat dengan proses manual yang membutuhkan waktu dan tenaga, sementara tekstil diproduksi dengan mesin secara instan. Batik memiliki nilai lebih dari segi estetika dan keaslian,” jelasnya

Meskipun begitu, Oliya tetap optimistis. Ia menegaskan bahwa batik yang asli selalu memiliki nilai lebih. “Batik itu pasti tembus depan belakang. Kalau printing, tidak. Itu cara mudah membedakan antara batik asli dengan tekstil atau sablon,” tuturnya.

Baginya, batik bukan sekadar kain, melainkan warisan budaya yang memiliki nilai estetika dan sejarah tinggi.

Oliya juga berharap agar masyarakat Aceh semakin menghargai produk batik lokal dan para pemuda tertarik untuk mempelajari serta melestarikan seni batik ini.

“Batik adalah identitas kita. Jangan sampai hilang hanya karena tergeser oleh produk instan,” jelasnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER