“Anak yang dikawinkan di bawah 19 tahun memiliki kerentanan akses terhadap kebutuhan dasar, seperti pendidikan, ekonomi sehingga berpotensi melanggenggkan kemiskinan antar generasi”
– Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, S.STP, M.Si-
Secara umum perkawinan anak di bawah usia 19 tahun masih marak terjadi di Indonesia, termasuk Provinsi Aceh. Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2023, angka perkawinan anak di bawah usia 19 tahun mencapai 4.319 orang di Aceh.
Angka ini cukup mengkhawatirkan karena dapat merusak masa depan generasi muda. Belum lagi, banyak orangtua yang belakangan ini mengajukan permohonan dispensasi nikah ke Mahkamah Syariah Aceh.
Dispensasi menikah ini diajukan apabila salah satu dari pasangan calon belum cukup umur untuk menikah atau masih di bawah usia 19 tahun. Sebelumnya dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pemerintah hanya mengatur batas usia minimal perempuan untuk menikah yakni 16 tahun. Kemudian, UU tersebut direvisi dengan UU Nomor 16 Tahun 2019 yang berlaku sejak 15 Oktober 2019, di mana dalam UU tersebut batas minimal usia boleh menikah yaitu 19 tahun.
Menurut Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, anak yang menikah di bawah usia 19 tahun karena kondisi tertentu memiliki kerentanan lebih besar dalam mengakses pendidikan, kesehatan, serta memiliki potensi besar mengalami kekerasan.
“Anak yang dikawinkan di bawah usia 19 tahun memiliki kerentanan akses terhadap kebutuhan dasar, seperti pendidikan, ekonomi sehingga berpotensi melanggengkan kemiskinan antar generasi. Pastinya ini menjadikan circle (lingkaran) kemiskinan,” jelasnya kepada Waspadaaceh.com, Jumat (30/8/2024).
Perkawinan anak di bawah usia 19 tahun, menurut Meutia, bisa saja dialami oleh anak laki-laki. Namun, jumlahnya tidak sebanyak yang dialami perempuan.
“Prevalansi 1 dari 9 perempuan berumur 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun. Dan hanya 1 dari 100 laki-laki berumur 20-24 tahun menikah sebelum umur 18 tahun,” jelasnya.
Karena itu, resiko bagi anak perempuan menikah di bawah usia 19 tahun lebih tinggi. Untuk Aceh sendiri angka perkawinan anak juga meningkat meski di bawah angka nasional.
Masalah ini menurut Meutia sangat mengkhawatirkan dan suatu urusan yang tidak bisa disepelekan.
Penyebab Tingginya Angka Perkawinan Anak
Menurut Meutia, ada beberapa hal yang menjadi penyebab utama tingginya perkawinan anak di Aceh. Pertama, faktor kemiskinan. Tidak sedikit dari anak-anak memilih menikah karena ingin mengurangi beban keluarga. Selain itu, alasan kekurangan biaya untuk melanjutkan pendidikan anak ke jenjang lebih tinggi.
Kemudian, lemahnya pengawasan orangtua. Banyak anak yang menikah akibat pergaulan bebas yang pada akhirnya terpaksa anak harus dinikahkan. Selanjutnya, disharmonisasi keluarga atau broken home (keluarga yang tidak lagi utuh).
Selain itu adanya mitos yang berkembang di lingkungan sekitar yang mempercayai tidak boleh menolak lamaran lebih dari tiga kali. Selain itu, ada juga faktor dorongan dari lingkungan atau teman sebaya.
Kata Meutia, masih banyak faktor-faktor lain yang menjadi penyebab perkawinan anak di bawah usia 19 tahun. Padahal, tanpa disadari oleh sebagain masyarakat, perkawinan anak di bawah usia 19 dapat merugikan anak itu sendiri dan negara.
Ada beberapa dampak dari perkawinan anak di bawah usia 19 tahun yang lazim diketahui. Di antaranya banyak yang mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), terganggu psikisnya, adanya gangguan reproduksi.
Selain itu, kata Meutia, angka kematian ibu dan anak meningkat, juga munculnya masalah ekonomi. Rendahnya ekonomi dapat menyebabkan pertumbuhan anak yang terhambat secara fisik dan mental.
“Karena dampak dari pernikahan di bawah usia 19 tahun bisa saja menyebabkan beberapa hal, salah satunya tingginya angka stunting di Aceh,” jelasnya.
Hal yang tak kalah penting, perkawinan anak di bawah umur bisa menyebabkan pola asuh anak yang salah hingga penelantaran anak.
Langkah Konkret Cegah Perkawinan Anak
Sebagai langkah konkret untuk pencegahan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI telah meluncurkan Strategi Nasional (Stranas) tentang pencegahan usia kawin anak.
Pemerintah Aceh, melalui DPPPA Aceh juga sedang menyusun Strategi Daerah (Strada) yang menjadi turunan dari lima Strategi Nasional (Stranas) tentang pencegahan usia kawin anak.
Di antaranya optimalisasi kapasitas anak, lingkungan yang mendukung pencegahan kawin anak, aksesibilitas dan perluasan layanan, penguatan regulasi dan kelembagaan, serta penguatan koordinasi pemangku kepentingan.
Menurutnya, Stranas ini menjadi dokumen strategis atau acuan bagi seluruh pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun di daerah.
“Di Aceh walaupun terlambat, saya rasa merupakan strategi yang baik 4 tahun kemudian kita akan coba jadikan ini Strategi Daerah (Strada),” sebutnya.
Selain itu, Pemerintah Aceh melalui DPPPA, jelas Meutia, terus berupaya memberikan perlindungan bagi anak melalui berbagai upaya preventif, promotif dan penanganan. Di antaranya, melalui Pelatihan Aktivis Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dengan melatih aktivis yang menjadi pelapor serta pelopor dari akar rumput dari tingkat gampong (desa).
“Juga kita laksanakan workshop atau bimtek pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak bagi aparatur gampong, organisasi, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pemerhati anak dan perempuan,” beber Meutia.
Namun dia menyadari bahwa sebanyak apapun kebijakan atau pun regulasi, pencegahan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun tetap tidak bisa dilakukan satu arah, melainkan diperlukan usaha, sinergisitas, kolaboratif serta terpadu dalam mencegah angka perkawinan anak di Aceh.
Edukasi Masyarakat
Menurut tim peneliti dari Flower Aceh, pernikahan anak banyak terjadi di desa-desa, karena itu mereka meminta kepada Pemerintah Aceh untuk menyosialisasikan ataupun mengedukasi masyarakat terkait UU No 16 tahun 2019 tentang batas usia pernikahan
Direktur Flower Aceh, Riswati, menjelaskan bahwa pemahaman perempuan di bawah usia 19 tahun tentang kesehatan reproduksi masih lemah. Mereka hanya mengetahui secara umum bagaimana menjaga kebersihan, bentuk, dan fungsi organ reproduksi.
Namun, kata Riswati, mereka belum memahami dampak dan risiko yang mungkin terjadi. Hanya sebagian dari mereka yang mengerti tentang Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR).
“Edukasi HKSR dan pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) sejak usia dini. Sosialisasi pencegahan melalui UU Perkawinan No 16 Tahun 2019,” tegasnya.
Kemudian, mengikuti pendidikan catin yang terintegrasi, memuat materi tentang KTPA, HKSR, positif parenting. Pendidikan catin dilaksanakan minimal tiga bulan sebelum pernikahan.
Memastikan anak mendapatkan pendidikan wajib 12 tahun, mengoptimalkan 8 fungsi keluarga untuk ketahanan keluarga. Memberantas kadi liar, memperkuat sistem perlindungan anak terpadu berbasis komunitas.
Memperkuat qanun desa pencegahan perkawinan anak di bawah usia 19 tahun. Fasilitas atau wadah kreativitas anak dan kelompok muda, pembentukan forum anak di tingkat desa.
Pemberdayaan ekonomi untuk anak putus sekolah, optimalkan peran wadah konseling keluarga hingga tingkat desa (Kemenag dan Dinas Syariat Islam). Kolaborasi multipihak dalam penanganan terpadu untuk penanganan perkawinan anak dan ketahanan keluarga
Di samping itu, dia juga meminta tokoh agama untuk ikut mengedukasi para penyuluh untuk tidak terlibat menikahkan anak secara siri atau nikah siri. (*)