“Komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak adalah kunci dalam mencegah dan mendeteksi kekerasan”
– Kepala DPPPA Aceh Meutia Juliana, S.STP, M.Si –
Pelaku kekerasan sering kali adalah orang-orang terdekat mereka, seperti orangtua, kerabat, pengasuh bahkan guru. Fenomena ini menimbulkan trauma yang dapat mengganggu perkembangan anak dalam jangka panjang.
Di Aceh, data dari Dinas Perlindungan Perempuan dan Anak (DPPPA) Aceh menunjukkan peningkatan kasus kekerasan terhadap anak setiap tahunnya. Pelaku kekerasan umumnya adalah individu yang dikenal dan dekat dengan korban.
Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 485 kasus kekerasan terhadap anak. Angka tersebut naik menjadi 468 kasus pada tahun 2021, kemudian meningkat lagi menjadi 571 kasus pada tahun 2022, dan semakin meningkat dengan 634 kasus pada tahun 2023.
Bentuk kekerasan terhadap anak paling tinggi yaitu kekerasan psikis, tercatat sebanyak 130 kasus, diikuti oleh kekerasan fisik sebanyak 143 kasus, kekerasan seksual 164 kasus, dan pemerkosaan anak 139 kasus.
Faktor kemiskinan, kurangnya wawasan, pendidikan yang rendah, dan masalah pribadi lainnya sering kali menjadi penyebab kekerasan ini. Pelaku bisa jadi adalah mereka yang memiliki masa lalu traumatis, berasal dari keluarga yang tidak harmonis, atau memiliki konflik dalam perkawinan.
Menurut Harri Santoso, Dosen Fakultas Psikologi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, anak yang menjadi korban kekerasan menerima dampak menghambat tumbuh kembangnya sang anak.
Menurut Harri, anak yang menjadi korban kekerasan fisik maupun psikologis dapat mengalami ketakutan, rasa tidak aman, gelisah, dendam, penurunan semangat belajar, hilangnya konsentrasi, menjadi pendiam, serta melemahnya mental.
“Jika tidak ditangani dengan baik, anak dapat mengalami stres berat dan kehilangan kepercayaan diri, yang berpotensi memengaruhi proses belajar dan kehidupan sehari-hari mereka,” tutur Harry kepada media ini, Kamis (18/4/2024).
Siklus Kekerasan, Korban Jadi Pelaku
Anak-anak yang mengalami kekerasan sering kali menyimpan pengalaman traumatis dalam memori mereka, yang dapat memicu proses peniruan perilaku kekerasan dalam kehidupan anak tersebut.
“Seiring waktu, mereka mungkin mencoba membalas dendam dengan melakukan kekerasan terhadap orang lain yang mereka anggap secara mental dan fisik lebih lemah daripada mereka,” jelas Harri.
Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya intervensi dini dan tepat dalam menangani korban kekerasan agar tidak berkembang menjadi pelaku kekerasan di masa depan.
“Trauma yang tidak diatasi dengan baik dapat memicu proses peniruan perilaku kekerasan dalam kehidupan mereka,” tambahnya.
Menurutnya, program-program intervensi psikologis dan sosial sangat penting untuk membantu korban kekerasan pulih dari trauma mereka. Pendampingan yang berkelanjutan dan pemberian rasa aman kepada korban merupakan langkah penting dalam proses pemulihan.
Peran Keluarga Cegah Kekerasan Terhadap Anak
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, STP, M.Si, menekankan pentingnya peran keluarga dalam melindungi anak dari kekerasan. Ia menggarisbawahi bahwa ayah memiliki peran vital dalam mendidik dan melindungi anak-anak dari kekerasan.
“Komunikasi yang efektif antara orang tua dan anak adalah kunci dalam mencegah dan mendeteksi kekerasan,” ujar Meutia.
Menurut Meutia, ketidakterbukaan anak sering menjadi penghalang utama dalam mengungkap kasus kekerasan. Oleh karena itu, ia mengimbau agar orang tua menciptakan lingkungan yang aman dan terbuka bagi anak-anak untuk berbicara tentang apa yang mereka alami.
Selain itu, anak-anak juga perlu diajarkan untuk berani menolak dan berkata ‘tidak’ saat menghadapi indikasi pelecehan seksual.
“Komitmen bersama dari semua pihak diperlukan untuk mengakhiri kekerasan terhadap anak. Hanya dengan perlindungan yang kuat, hak-hak mereka sebagai penerus bangsa dapat dijamin,” tegas Meutia.
Tantangan dan Solusi
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan masyarakat.
Program-program pendidikan dan penyuluhan harus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya perlindungan anak.
Selain itu, dukungan psikologis dan sosial bagi korban kekerasan juga harus diperkuat agar mereka dapat pulih dan melanjutkan hidup dengan lebih baik.
Meutia juga menekankan pentingnya pelibatan berbagai pihak dalam upaya ini. “Komitmen bersama dari pemerintah, masyarakat, dan organisasi terkait diperlukan untuk menciptakan lingkungan yang aman dan ramah bagi anak-anak. Dengan perlindungan yang kuat, kita dapat memastikan hak-hak mereka sebagai penerus bangsa terjamin,” tutur Meutia Juluani. (*)