Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaDisbudpar AcehKaum Perempuan Linge Pertahankan Kerajinan Anyaman Desa Tertua di Tanah Gayo

Kaum Perempuan Linge Pertahankan Kerajinan Anyaman Desa Tertua di Tanah Gayo

Motif anyaman mengadopsi pola tradisional Gayo, seperti cucuk matahari yang menjadi ciri khas.

Aceh Tengah (Waspada Aceh) – Kaum perempuan khususnya ibu-ibu di Desa Buntul Linge, Kecamatan Linge, Kabupaten Aceh Tengah, dengan gigih mempertahankan seni anyaman mereka yang telah diwariskan turun-temurun.

Namun sayangnya mereka menghadapi kendala dalam memasarkan produknya dan mengakses bahan baku yang langka.

Desa Buntul, merupakan desa asal-usul Suku Gayo. Desa ini tidak hanya kaya akan sejarah seperti situs makam Kerajaan Linge, tetapi juga memelihara kearifan lokal dengan memanfaatkan potensi alam sekitar.

Salah satu kerajinan yang dikembangkan adalah anyaman dari daun pandan berduri, atau yang dalam bahasa Gayo disebut “bengkuang”. Bahan ini digunakan untuk membuat berbagai barang seperti wadah penyimpanan, alat makan, dan peralatan rumah tangga.

“Anyaman ini telah menjadi bagian hidup kami sejak lama. Sudah kami terapkan ramah lingkungan dengan mengurangi sampah plastik sekali pakai,” kata salah satu pengrajin anyaman, yang akrab disapa Inen Mahdi, Minggu (14/7/2024).

Pada acara Festival Nenggeri Linge 2024 yang berlangsung pada 13-16 Juli 2024, produk-produk unggulan seperti tikar, tape, sentong, bebaka, dan ampang menarik perhatian pengunjung dari berbagai daerah. Motif anyaman yang mengadopsi pola tradisional Gayo, seperti Cucuk Matahari, menjadi ciri khas yang diapresiasi.

Tidak seperti anyaman biasa, mereka meningkatkan estetika produk dengan menyulam benang berbagai warna di atas anyaman daun landan, menciptakan hasil yang lebih berseni dan bervariasi.

“Zaman dulu, nenek-nenek kita menghias anyaman dengan teknik sulaman khusus menggunakan benang berwarna-warni. Tampilannya unik dan khas. Pasti berbeda dari kerajinan daerah lainnya,” kata Siti Mak Murni, keturunan Kerajaan Linge, sambil menunjukkan koleksi anyaman berharga dari nenek moyang mereka.

Selain mempertahankan nilai-nilai lokal, kerajinan tangan ini juga berpotensi  meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Meskipun berjuang untuk mempertahankan tradisi ini, ibu-ibu pengrajin menghadapi tantangan serius akibat kelangkaan bahan baku.

“Bahan baku seperti daun pandan  ini sudah mulai sulit ditemukan karena faktor cuaca yang ekstrem,” ujar Siti Mak Murni.

Mereka berharap pemerintah dapat memberikan dukungan berupa pelatihan dan akses pasar untuk menjaga keberlanjutan usaha ini. Harga produk anyaman bervariasi, mulai dari Rp10 ribu hingga Rp500 ribu.

Ia juga mengatakan perlunya kaderisasi agar generasi muda lebih aktif dalam mewarisi keahlian ini ke depannya.

“Dengan melibatkan generasi muda, kami berharap warisan budaya ini akan terus hidup dan berkembang,” tutupnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER