Mula-mula tempo tepuk tangan berjalan pelan, semakin lama tepuk tangan kian cepat dan tiba-tiba berhenti.
Suara tepukan tangan dan hentakan bantal kecil mengiringi syair yang mengalun dari sekelompok laki-laki duduk bersila melingkar, tubuh mereka bergoyang bak menari.
Syair mereka mengisahkan tentang hutan yang luas dan hijau, sumber kehidupan yang tak pernah berhenti memberi.
“Nenggeri linge lues ilen uteun, mu alam ijo kiri urum kuen, ari tuhen, ken sumberen, paru-paru dunia, ama ine..
Makin dele kayu wani uten, tembolon gere mera rede, ulung ijo munyerap karbon kesehatan ku manusie”
Artinya “Luasnya hutan negeri linge dengan alamnya hijau kiri dan kanan, sumber kehidupan dari tuhan, paru-paru dunia.”
“Semakin banyak kayu dalam hutan, mata air yang tak pernah berhenti, daun hijau menyerap karbon, kesehatan untuk manusia.”
Itulah penggalan syair dalam didong yang ditampilkan di panggung Festival Negeri Linge yang berlangsung pada 13-16 Juli 2024. Dengan tema “Asal Linge Awal Serule,” didong dipertandingkan antarkelompok melalui kegiatan didong safari di Umah Pitu Ruang, Desa Buntul Linge, Kecamatan Linge, Aceh Tengah.
Sebanyak tujuh grup peserta tampil menyenandungkan syair dalam bahasa Gayo dengan tema sejarah Linge dan lingkungan hidup. Syair-syair yang dilantunkan mencerminkan erat kaitannya hubungan masyarakat Gayo dengan alam sekitarnya.
Siang itu, antusias warga untuk menyaksikan merdunya alunan syair didong memadati bawah Umah Pitu Ruang. Mereka tampak menikmati setiap bait syair yang diperdengarkan.
Tepuk tangan para pemain didong sangat khas. Posisi telapak tangan saat menepuk melahirkan bunyi yang bervariasi.
Mula-mula tempo tepuk tangan berjalan pelan, semakin lama tepuk tangan kian cepat dan tiba-tiba berhenti. Penonton pun terenyak, lalu disambut tepuk tangan dan siulan penyemangat.
Didong, seni tradisional dari dataran tinggi Gayo, Aceh, tak pernah absen dalam setiap perayaan, seperti pesta pernikahan dan syukuran.
Seni ini menjadi pengikat sesama orang Gayo dan menjadi bagian dari warisan budaya tak benda yang diakui UNESCO.
Budayawan Gayo dan akademisi, Salman Yoga, yang juga menulis penelitian tentang didong, menyampaikan segala sesuatu yang terjadi dan menjadi bagian dari dinamika masyarakatnya kerap ditumpahkan dalam seni Didong.
“Syair-syair didong banyak bercerita tentang sejarah, adat budaya masyarakat, keagamaan, suri tauladan, bahkan cerita percintaan, legenda, dan mitos yang berkembang dalam masyarakat,” ungkap Salman.
Seni ini berfungsi sebagai media komunikasi, pendidikan massa, kritik sosial, politik, ekonomi, budaya, agama, dan persoalan-persoalan kemanusiaan, pertanian, serta rumah tangga.
Didong selalu menjadi hiburan yang tak pernah tergerus oleh perkembangan zaman. Bahkan, remaja-remaja Gayo dengan bangga menjadi bagian dari grup didong.
Rizky, (28) salah satu peserta didong, turun dari panggung dengan wajah berseri-seri. Percaya diri setelah menampilkan yang terbaik, ia yakin bisa menjadi juara. Namun, keputusan ada pada dewan juri yang terdiri dari para seniman didong senior.
Menuurt Rizky, seni didong bukan sekadar hiburan, tetapi juga bagian dari dakwah yang mempererat silaturahmi antarmanusia.
“Dengan didong, kami tidak hanya melestarikan warisan budaya, tetapi juga menyuarakan keprihatinan dan harapan tentang lingkungan hidup serta keberlanjutan alam yang kami cintai,” ujarnya.
Menurutnya, festival Negeri Linge kali ini tidak hanya menjadi ajang kompetisi, tetapi juga refleksi bersama tentang pentingnya menjaga harmoni antara manusia dan alam. (*)