Pidie (Waspada Aceh) – Suasana malam kedua Idul Fitri 1445 Hijriah di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, semarak dengan tradisi Toet Budee Trieng.
Toet artinya menyalakan, bude trieng artinya meriam bambu, tradisi masyarakat Pidie merayakan Idul Fitri tepatnya di Garot Kecamatan Indra Jaya, Kabupaten Pidie.
Pantauan Waspadaaceh.com, Kamis (11/4/2024), tepian sungai Garot berubah layaknya panggung perang, beberapa meriam yang terbuat dari drum minyak itu tersusun bersebelahan di sepanjang bantaran sungai.
Suara dentuman terdengar saling bersahutan. Mirip seperti suara sedang berperang. Suaranya cukup memekakkan telinga.
“Perang budee trieng” ini dimulai sejak pukul 21.00 WIB hingga pagi. Selain itu, mereka juga perang kembang api yang terbang ke udara.
Ramzi,41, seorang perantau yang pulang ke kampung halamannya di Garot, mengungkapkan tradisi toet beudee trieng ini merupakan momen yang sangat dirindukan saat pulang ke kampung merayakan Idul Fitri bersama keluarga. Kata Ramzi ini juga disebut dengan Toet Karbet.
“Dulu meriamnya terbuat dari bambu, namun sekarang sudah menggunakan drum minyak karena suaranya lebih dahsyat dibanding bambu, dan bahan bakarnya telah beralih ke karbit, makanya sekarang sebutannya toet karbet” tuturnya.
Kegiatan ini didanai melalui gotong royong, baik dari tokoh masyarakat warga lokal maupun perantau mengumpulkan anggaran hingga Rp20 juta. Ditambah lagi dengan makan dan minum pemuda yang ikut dalam aktivitas ini.
Menurutnya, tradisi ini melekat sejak zaman saat perang masa konflik Aceh yang menggunakan alat berupa Meriam dan Beudee Trieng. Namun kata Ramzi ada sumber sejarah berbeda terkait asal muasal keberadaan tradisi ini.
Sepanjang ruas jalan Sigli-Garot dipadati kendaraan masyarakat yang berdatangan melihat festival tersebut, bahkan sampai membuat kemacetan panjang.
Sejumlah warga sengaja datang untuk mendengar atau merasakan langsung suara dan getaran meriam karbit. Mereka datang dari beragai daerah dari Banda Aceh, Aceh Besar, lhokseumawe dan lderah lainnya.
Menariknya warga sekitar tidak merasa terganggu dengan suara bom karbit yang menggetarkan tanah itu. Namun bila ada keluarga yang memiliki bayi, balita maupum lansia, mereka memilih untuk mengungsi sementara di luar radius suara dentuman. (*)