Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaNasionalWacana KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama, Ini Tanggapan Lintas Agama di...

Wacana KUA Jadi Tempat Pernikahan Semua Agama, Ini Tanggapan Lintas Agama di Aceh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Inisiatif Kementerian Agama yang ingin menjadikan Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai pusat pelayanan keagamaan bagi seluruh umat beragama termasuk tempat perkawinan menuai kontroversi. Beberapa mendukung, tapi ada juga yang menolak.

Hal itu mengemuka dalam diskusi publik terkait Polemik Kantor Urusan Agama Menjadi Tempat Pernikahan Semua Agama, di Colosseum Coffee, Banda Aceh, Sabtu (9/3/2024). Diskusi menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang agama, akademisi, dan tokoh masyarakat.

Transformasi KUA yang dimaksud adalah, KUA menjadi pusat layanan keagamaan semua umat beragama, memperluas TUSI KUA menjadi 40 layanan, melayani/menjadi tempat pernikahan/perkawinan untuk semua umat beragama, aula KUA menjadi tempat ibadah bagi umat non muslim yang belum memiliki tempat ibadah.

Akademisi UIN Arraniry Banda Aceh Agustin Hanapi mengatakan, pemerintah hadir jika ada masyarakat belum terakomodir hak-haknya.

“Ini masih dalam wacana. Artinya, jika diberlakukan, butuh proses panjang. Dengan mudah regulasi selama ini dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan jelas. Pencatatan pernikahan bagi umat Islam dari pihak KUA. Bagi saudara yang non-Muslim di dinas kependudukan, jadi ini perlu dirubah,” ujarnya.

Di sisi lain, ia menambahkan, harus diingat dari sosiologis, bukan hanya filosofisnya, masyarakat siap atau tidak, bukan hanya proses administratif yang diprioritaskan, tapi juga hal lain yang perlu dipertimbangkan.

“Banyak yang mencuat, kami sudah nyaman. HARUS bijak dan jauh dari unsur politis. Jika memang pro, jangan euforia dulu kalau kontra perlu melihat berbagai aspek secara komprehensif,” katanya.

Pada kesempatan itu juga hadir dari berbagai narasumber lintas agama, seperti Rada Kerisna (Perwakilan Agama Hindu), Yanto dari Vihara Sakyamuni Budha, Baron Ferryson (Perwakilan Katolik), dan Mudhafar Anzari (Akademisi Hukum UNMUHA).

Rada Kerisna mengatakan, ia setuju dengan aturan ini. Namun aturannya juga perlu digali kembali. “Selama ini kami mengurus tidak ada problem terutama dalam hal administrasi terkait pernikahan dan juga tercatat di disdukcapil,” ungkapnya.

Yanto menyatakan, “Wacana baru bukanlah halangan tapi jadikanlah tantangan,” ucapnya.

Baron Ferryson menilai, setiap kebijakan pasti dengan kajian yang akurat untuk kemaslahatan umat. “Kalau masukan positif ini perlu didorong tidak lagi menjadi isu mengambang. Ini masih wacana,” imbuhnya.

Mudhafar Anzari mengingatkan, perlu dikaji apa dampak baik dan buruknya. Tidak hanya sebatas kebijakan saja. Masyarakat Islam, masyarakat non muslim dan masyarakat adat memiliki pandangan berbeda-beda, dalam mengawal konsep ini sangat berperan” paparnya.

Peserta diskusi juga menanggapi wacana tersebut. Risa, beragama Kristen, mengatakan ada beberapa hal yang perlu dibahas lebih lanjut.

“KUA menjadi tempat ibadah, altar tidak mudah itu untuk dibawa kemana-mana. Ada beberapa yang bisa kita ambil, KUA menjadi tempat pusat pernikahan dijadikan ballroom bisa saja. Tapi beberapa hal tidak tepat menurut saya,” katanya.

Peserta lain, yang enggan disebutkan namanya, mengaku kontra dengan KUA sebagai tempat ibadah semua agama. “Menurut saya dua orang diberkati tidak etis jika ruangannya tidak sesuai, karena itu momen sakral. Saya kurang setuju,” tandasnya.

Peserta lainnya juga menilai tidak mungkin KUA menjadi tempat peribadatan. “Katolik memiliki fasilitas khusus,” jelasnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER