Banda Aceh (Waspada Aceh) – Forum Pawang Aceh (FPA) mendorong Pemerintah Aceh segera merealisasikan regulasi perlindungan satwa liar dan penanganan dampak interaksi negatif satwa dan manusia di Aceh.
Hal ini disampaikan pada kegiatan audiensi yang digelar di Kantor Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh, Rabu (6/3/2024).
Dalam audiensi tersebut, FPA menyampaikan rumusan komitmen bersama kepada DLHK Aceh, Biro Hukum Setda Provinsi Aceh, dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh.
FPA mendorong pemerintah untuk merampungkan rancangan peraturan gubernur (pergub) strategi dan rencana aksi pengelolaan satwa liar, serta rancangan pergub kriteria dan penetapan kejadian bencana luar biasa akibat interaksi negatif manusia dan satwa. Kedua rancangan pergub tersebut merupakan turunan dari Qanun Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Satwa Liar.
Ketua FPA, Mahmuddin, mengatakan bahwa Ia juga meminta pemerintah Aceh untuk mengakui keberadaan pawang dalam produk legislasi daerah sebagai entitas penting dalam penyelesaian interaksi negatif antara manusia dan satwa liar.
“Forum Pawang Aceh juga meminta komitmen pemerintah Aceh untuk melibatkan FPA dalam upaya pencegahan, penanganan, dan pemulihan akibat interaksi negatif satwa liar dengan manusia, mendorong terciptannya kerjasama yang kokoh antara Pemerintah Aceh dengan FPA,” tegasnya.
FPA terdiri dari perkumpulan pawang satwa dengan keahlian beragam, seperti pawang harimau, orangutan, gajah, badak, buaya, dan satwa lainnya. Mereka berasal dari berbagai kabupaten dan kota di Aceh dan memiliki peran penting dalam penyelesaian interaksi negatif antara manusia dan satwa liar.
Pembentukan FPA merupakan inisiasi dari hasil rembuk pawang se Aceh bertajuk “Suara pawang menyelamatkan satwa” yang digelar Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA) Aceh.
Plh Kepala DLHK Aceh, yang diwakili oleh Sub Koordinator Konservasi Sumber Daya Alam DLHK Aceh, Nopi Ariansah, menyatakan bahwa pergub-pergub tersebut akan dibahas lebih lanjut dengan mengundang para pihak terkait, termasuk FPA.
“Kita akan membahas tentang draf pergub kriteria penetapan Kejadian Bencana Luar Biasa akibat interaksi negatif satwa dan manusia, kita bahas substansinya, kita harapkan setelah ditetapkan nanti oleh gubernur, bisa menjadi operasional di lapangan tidak menjadi catatan kosong,” ujar Nopi.
Ia juga menanggapi terkait pelibatan pawang yang akan dimasukkan dalam SRAP-SL pergub tentang strategi dan rencana aksi pengelolaan satwa liar. Saat ini, draft tersebut dalam tahap finalisasi.
“Disebutkan keterlibatan mitra strategis dan masyarakat, pawang menjadi salah satu mitra strategis kita. Kami mengapresiasi kontribusi dan peran FPA dalam pengelolaan satwa liar di Aceh,” jelasnya.
Nopi mengatakan bahwa draf strategi rencana aksi ini sudah disusun sejak tiga tahun lalu, tetapi belum selesai karena ada kendala teknis. Ia memastikan realisasinya akan dilakukan sesegera mungkin, karena pergub ini sangat ditunggu dan dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya yang mengalami dampak negatif dari interaksi satwa dan manusia.
Dr. Sulaiman dari Biro Hukum Setda Aceh juga menanggapi masukan dari FPA merupakan kebijakan yang harus ditanggung bersama.
“Masukan ini akan menjadikan Pergub sebuah kebijakan, termasuk kawasan bencana luar biasa, kami berharap pergub tersebut dapat memberikan solusi dan manfaat bagi masyarakat Aceh, khususnya dalam menghadapi interaksi negatif antara manusia dan satwa liar,” tambah Sulaiman.
Kasubbag TU BKSDA, Erwan Chandra Jaya juga menekankan perlunya sinergi dan pembentukan tim untuk mencari fakta kenapa interaksi negatif ini terus terjadi. Ia jika tidak ada tim pencari fakta, hasil penanganan konflik satwa liar selalu tidak sinkron.
“Hasil tim nanti bisa dibuat peta di wilayah, sehingga kita bisa mengetahui sebaran dan pola interaksi negatif satwa di Aceh. Dengan begitu, kita bisa menentukan strategi dan langkah-langkah yang tepat untuk mengurangi interaksi negatif tersebut,” kata Erwan.
Ketua Pusat Riset Konservasi Gajah dan Biodiversitas Hutan Universitas Syiah Kuala, Dr. Abdullah, mengungkapkan bahwa tren interaksi negatif antara satwa dan manusia meningkat setiap tahun, baik frekuensi maupun intensitas yang menimbulkan korban jiwa.
Abdullah mengatakan, belum adanya payung hukum yang spesifik menjadi penghambat dalam penanganan dampak interaksi negatif tersebut. Meskipun Qanun No. 11 Tahun 2019 telah disahkan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tidak dapat mengambil langkah konkret tanpa adanya peraturan gubernur (pergub) yang menjadi turunan dari qanun tersebut.
“Kami berharap pergub tersebut dapat segera disahkan, sehingga BPBD dapat memberikan bantuan dan dukungan kepada masyarakat yang terdampak interaksi negatif satwa liar,” tutur Abdullah.
Sementara itu, Community Organizer Yayasan HAkA, A Baizalwi, mengatakan pentingnya para pawang dilibatkan untuk mitigasi interaksi negatif manusia-satwa. Selain sebagai juru damai, mereka juga menjaga nilai leluhur agar bisa hidup berdampingan dengan satwa. Dengan dibentuknya forum pawang Aceh ini juga mempermudah pelibatan, kaderisasi, dan perjuangan kesejahteraan mereka.
Legal Officer HAkA, Musrafiyan, juga menyampaikan dorongan percepatan realisasi pergub ini upaya advokasi adanya payung hukum terutama untuk mengatasi dampak interaksi negatif manusia dan satwa. (*)