Banda Aceh (Waspada Aceh) – Persoalan pengungsi Rohingya di Aceh masih menjadi tantangan bagi pemerintah, masyarakat, dan lembaga internasional.
UNHCR sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas perlindungan dan solusi bagi para pengungsi, terus berupaya mencari jalan keluar yang terbaik bagi para pengungsi Rohingya.
Hal ini disampaikan oleh Protection Associate UNHCR, Muhammad Rafki, dalam diskusi bertajuk “Persoalan pengungsi Rohingya di Aceh tanggungjawab siapa?” yang digelar oleh Aceh Resource & Development (ARD) di Pao Pia Garden, Banda Aceh, Sabtu (13/1/2024).
Rafki mengatakan, UNHCR terus berkoordinasi dengan pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menangani persoalan pengungsi Rohingya di Aceh.
Secara hukum, Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung para pengungsi Rohingya, karena Indonesia tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi tahun 1951.
Namun, secara kemanusiaan, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa para pengungsi Rohingya yang terombang-ambing di laut.
“Persoalan besar ini harus ditanggulangi bersama. Pandangan ada pro dan kontra. Ada perspektif kebudayaan, sosial budaya, dan juga ketahanan negara. Kita hormati perspektif ini. Namun, apapun pandangan kita, yang terdepan adalah misi penyelamatan nyawa. Saat ini, penyelamatan nyawa jadi prioritas,” tutur Rafki.
Rafki juga mengungkapkan, UNHCR berupaya mencari solusi jangka panjang bagi para pengungsi Rohingya di Aceh. Salah satu solusi yang ditawarkan adalah resettlement, yaitu pemindahan ke negara ketiga yang bersedia menerima para pengungsi Rohingya. Namun, solusi ini bukan sesuatu yang sudah pasti dan membutuhkan waktu yang lama.
“Resettlement itu bukan sesuatu yang sudah pasti. Jadi perlu diskusi lebih lanjut dan kuota sangat terbatas. Waktu tunggu di Indonesia ada 5 tahun hingga 10 tahun dan lebih dari itu. Karena resettlement itu hak ada di negara penerima. Meratifikasi konvensi tidak menjamin resettlement,” jelasnya.
Rafki menambahkan, selama ini ada Rohingya yang sudah ditempatkan ke negara ketiga. Beberapa waktu lalu, ada satu orang Rohingya yang disetel ke negara Kanada. “Dia guru ngaji di daerah Pekanbaru dan diterima di Kanada,” jelas Rafki.
Rafki berharap agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh isu-isu yang tidak berdasar atau menggeneralisir semua komunitas pengungsi.
Ia juga menegaskan, pengungsi Rohingya tidak kebal hukum dan wajib mematuhi UU Indonesia. Jika ada pengungsi Rohingya yang melakukan pelanggaran hukum, seperti terlibat dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO), maka mereka harus diproses sesuai dengan hukum Indonesia. “UNHCR mengapresiasi kerja pihak kepolisian dalam mengungkap TPPO. Bahkan UNHCR membantu menyediakan penerjemah dan mendampingi,” papar Rafki.
Rafki mengajak semua pihak untuk bersama-sama berbagi tanggung jawab dalam menolong saudara kita yang sedang membutuhkan.
“Mengupas soal Rohingya perlu melihat data yang resmi, jadi ini tanggung jawab siapa? Responsibility sharing, sharing tanggung jawab. Sudah jelas, kita semua memiliki tanggung jawab menolong saudara kita,” jelasnya.(*)