JAKARTA – Ketua Komite I DPD RI Fachrul Razi mengatakan pembangunan Ibu Kota Nusantara jangan membebani APBN dan utang luar negeri.
“Baru saja berjalan kurang lebih satu setengah tahun, implementasi UU IKN mulai menampakkan adanya beberapa masalah yang dapat menjadi ganjalan. Karena itu, pembangunan IKN jangan membebani APBN dan berorientasi utang luar negeri,” kata Fachrul Razi di Jakarta, Kamis (21/9/2023).
Fachrul Razi menyampaikan hal tersebut saat memberikan catatan kritis pada pandangan akhir mini DPD RI dalam rapat kerja pembahasan RUU tentang perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara bersama DPR RI dan Pemerintah.
RUU tersebut dibahas secara maraton sejak akhir Agustus lalu dan berhasil disepakati secara tripartit oleh DPR RI, DPD RI, dan Pemerintah untuk dilanjutkan pada tahap persetujuan bersama dalam rapat paripurna.
Apabila dirunut ke belakang, pembentukan UU IKN pada tahun 2021 dan 2022, UU ini memang disusun dalam waktu yang sangat singkat yaitu mulai 7 Desember 2021 hingga 18 Januari 2022.
Dan itu pun sempat terjeda dengan masa reses DPR RI dan DPD RI pada 16 Desember 2021-10 Januari 2022.
Saat itu, Senator Fachrul Razi juga mengingatkan penyusunan UU IKN jangan tergesa-gesa dan perlu dilakukan pengkajian secara mendalam. Undang-undang yang dibentuk secara tergesa-gesa, akan mengakibatkan undang-undang tersebut sebentar-sebentar harus diubah.
Dan hal ini dapat mengurangi kewibawaan undang-undang itu sendiri dan menjadi salah satu indikasi ketidakmampuan pembentuk undang-undang dalam mendesain materi muatan undang-undang dengan baik.
Ternyata, kekhawatiran senator asal Provinsi Aceh ini menjadi kenyataan dengan munculnya berbagai masalah dalam penerapan UU IKN saat ini.
Dalam proses pembahasan, masalah-masalah penerapan UU IKN kemudian dirangkum menjadi sembilan klaster substansi pokok revisi UU IKN yaitu kewenangan khusus Otorita IKN, pertanahan, pengelolaan keuangan, pengisian jabatan Otorita IKN.
Berikutnya, penyelenggaraan perumahan, batas wilayah, tata ruang, mitra di DPR RI, dan jaminan berkelanjutan.
Melalui revisi ini, kedudukan dan kewenangan Otorita IKN diperkuat agar lebih leluasa dalam menjalankan tugasnya tanpa terjadi gesekan kewenangan dengan kementerian atau lembaga pemerintah terkait.
Selanjutnya, ketentuan hak atas tanah juga disempurnakan sedemikian rupa agar tercipta ekosistem investasi yang friendly.
Walaupun DPD RI secara prinsip dapat menerima substansi revisi UU IKN, namun juga disertai dengan sejumlah catatan kritis baik dalam pandangan awal maupun dalam pandangan akhir.
Misalnya, sebagaimana dipaparkan oleh Fachrul Razi, pembangunan IKN jangan sampai membebani APBN dan berorientasi pada utang luar negeri. Saat ini memang utang luar negeri Indonesia sudah sangat membengkak, mencapai 396,3 miliar dolar atau setara dengan Rp6.104 triliun.
Jangan sampai pembiayaan dalam pembangunan IKN membuat utang negara semakin menumpuk. Selain itu, walaupun ekosistem investasi yang bersahabat perlu diciptakan.
Swastanisasi IKN juga perlu dilakukan secara hati-hati, karena penguasaan lahan oleh pihak swasta secara besar-besaran dapat membahayakan eksistensi pemerintah itu sendiri sebagai representasi negara yang menjamin wilayah dan masyarakatnya.
DPD RI juga meminta agar perubahan pengaturan hak atas tanah dalam revisi UU IKN ini jangan sampai merugikan hak-hak masyarakat adat setempat.
Secara lengkap, pandangan akhir DPD RI dalam pembahasan RUU tentang Perubahan UU IKN memuat beberapa catatan kritis sebagai berikut :
Pertama, DPD RI berpandangan pencantuman Pasal 22D ayat (2) UUD Tahun 1945 dalam konsideran mengingat RUU tentang perubahan atas UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara telah sesuai dengan Pasal 18 UUD Tahun 1945.
Dan juga sesuai dengan putusan MK tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD terhadap UUD Tahun 1945.
Kedua, DPD RI berpandangan bahwa pembangunan dan penyelenggaraan IKN tidak boleh menciptakan swastanisasi besar-besaran yang justru dapat membahayakan eksistensi pemerintah sebagai representasi negara yang menjamin wilayah dan masyarakatnya.
Ketiga, DPD RI berpandangan bahwa perubahan UU IKN harus melindungi tanah adat dan tanah ulayat penduduk asli atau masyarakat adat setempat.
Dan dalam pengaturan alih fungsi lahan sepatutnya melibatkan partisipasi yang berarti (meaningful partisipation) dari penduduk asli baik dalam perencanaan maupun dalam pelaksanaannya.
Keempat, DPD RI berpandangan bahwa pembangunan dan penyelenggaraan IKN tidak boleh membebankan APBN dan berorientasi kepada utang luar negeri.
Kelima DPD RI berpandangan bahwa pemerintah daerah di sekitar IKN dalam proses pembangunan, perlu memperhatikan pembangunan rumah bagi warga pribumi.
Serta memberikan penguatan peran pemerintah daerah di sekitar IKN untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan, di samping juga adanya peran pihak swasta.
Keenam, DPD RI berpandangan RUU ini harus memperhatikan aspek geopolitik dan geostrategi sebagai komponen penting untuk memperkuat pertahanan negara.
Ketujuh, DPD RI berpandangan bahwa perlu dipastikan tata ruang IKN, tata ruang provinsi sekitar IKN dan tata ruang nasional yang terintegrasi satu sama lain dan memiliki desain yang tepat, mengingat tata ruang merupakan salah satu unsur penting dari kedaulatan negara.
Kedelapan, DPD RI berpandangan, berkenaan dengan kedudukan DPD RI sebagai representasi daerah, maka di samping DPR RI, DPD RI juga perlu diikutsertakan dalam melakukan pengawasan, pemantauan dan peninjauan atas penyelenggaraan Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota Nusantara.
Kesembilan, DPD RI berpandangan, terkait dengan kedudukan Otorita IKN sebagai pemerintah daerah khusus, bahwa model pemerintahan seperti ini bukan merupakan bagian dari jenis pemerintahan yang ada di dalam UUD Tahun 1945.
Pasal 18 ayat (4) UUD Tahun 1945 mengatur kepala pemerintah daerah terdiri atas gubernur untuk pemerintah provinsi, bupati/wali kota untuk pemerintah kabupaten/kota.
Oleh karena itu DPD menilai bahwa penggunaan istilah otorita beserta pengaturannya tidak tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan daerah khusus ibu kota negara. (*)