Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ratusan aparat keamanan dengan beratribut lengkap memaksa masuk ke perkampungan warga di Pulau Rempang, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau, Kamis malam (7/9/2023).
Dikutip dari beberapa sumber, kedatangan aparat gabungan ke Pulau Rempang untuk memasang pasok tata batas lahan Rempang Eco-City. Ini adalah proyek yang dilabeli dengan proyek strategis nasional untuk membangun kawasan industri, perdagangan, dan wisata.
Namun saat akan masuk, masyarakat adat yang menolak kehadiran aparat gabungan itu melakukan pemblokiran dengan menebang pohon hingga meletakkan blok kontainer di tengah jalan.
Aparat kepolisian, TNI, Satuan Polisi Pamong Praja hingga pengamanan BP Batam pun mencoba membersihkan pepohonan yang ditebang di jalan.
Aparat memaksa masuk wilayah Rempang dengan cara memukul mundur warga dengan menembakkan gas air mata. Akibatnya, situasi mencekam usai penembakan gas air mata ke arah warga yang menghalangi aparat untuk masuk. Bentrokan tak dapat dihindari.
Tindakan penembakan gas air mata, membuat warga susah untuk bertahan dan terpaksa mundur. Selain itu, penembakan gas air mata tersebut juga sampai hingga ke sekolah menyebabkan murid dan guru panik ketakutan.
Beberapa siswa dikabarkan mengalami luka-luka hingga dilarikan ke rumah sakit. Padahal, para guru di SD tersebut sudah meminta kepada aparat agar tidak menembakkan gas air mata ke arah sekolah.
Alasan masyarakat menolak relokasi pembangunan Eco City karena mereka menilai kampung tersebut memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sehingga mereka dengan tegas menolak warga di wilayah tersebut direlokasi.
Sebelumnya, warga juga telah mengecam tindakan aparat di Pulau Rempang. Mereka meminta aparat menghentikan tindakan kekerasan kepada masyarakat Pulau Rempang dan meminta proses pembangunan proyek strategis nasional Rempang Eco City dihentikan.
Lalu bagaimana status wilayah tersebut?
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia, Mahfud MD, mengatakan pada tahun 2001-2002, pemerintah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah perusahaan dengan bentuk Hak Guna Usaha (HGU).
Sebelum investor masuk, tanah tersebut belum digarap dan tidak pernah dikunjungi. Kemudian, pada tahun 2004 dan seterusnya, keputusan diambil untuk memberikan hak baru kepada pihak lain untuk menghuni lahan tersebut. Padahal (SK) haknya telah dikeluarkan pada tahun 2001-2002 secara sah.
“Pada tahun 2022, ketika investor akan masuk yang pemegang hak itu datang ke lokasi dan ternyata tanahnya telah ditempati,” ungkap Mahfud MD.
Setelah ditelusuri ternyata ada kekeliruan, dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat dalam hal ini KLHK. Lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa Rempang itu masih menjadi hak dan investor akan masuk.
“Nah proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanah atau pun HGUnya,” jelasnya. (*)