Banda Aceh (Waspada Aceh) – Akademisi yang juga pengusaha warung kopi (Warkop), Agam Syarifuddin, mengatakan, Aceh saat ini dikenal luas oleh masyarakat Indonesia sebagai daerah yang sudah sangat aman. Karena itu jangan ada yang menciptakan kondisi atau memberi kesan seolah Aceh tidak aman.
Hal ini disampaikan Dr. Agam Syarifuddin, MA, menanggapi adanya Surat Edaran (SE) Pj Gubernur Aceh tentang poin yang mengimbau warung kopi (Warkop), kafe, rumah makan dan sejenisnya yang berada di Aceh agar tidak membuka usahanya di atas pukul 24.00 WIB atau lewat tengah malam.
Dia sepakat dengan SE Pj Gubernur Aceh menyangkut penguatan syariat Islam di Aceh. Namun menjadi pertanyaan adalah hubungannya dengan Warkop yang harus tutup paling lambat pukul 24.00 WIB.
“Ini menjadi pertanyaan serius bagi kita, apakah Warkop ini menjadi sarang maksiat?,” tanyanya, ketika menyampaikan pemikirannya pada acara Kajian Aktual yang digelar Tastapi dan DPP ISAD dan HIPSI di Hotel Hermes Banda Aceh, Sabtu malam (13/8/2023).
Kata dia, jika ada sebagian Warkop yang kedapatan di lokasi tersebut terjadi pelanggaran syariat Islam, harusnya pelaku yang ditindak, dan pemilik warkop diberi peringatan. Bukan malah menutup Warkopnya.
Dalam hal penerapan syariat Islam, lanjut Syarifuddin, mestinya Pemerintah Aceh menjalankan aturan yang sudah ada terkait penerapan syariat Islam, dengan memaksimal instansi terkait yang ada. Termasuk, meningkatkan perannya dalam mengedukasi masyarakat agar mau menjalankan syariat Islam, bukan malah mengkambinghitamkan warkop yang buka hingga lewat tengah malam.
“Yang perlu ditekankan adalah penerapan syariat Islam di kantor-kantor pemerintahan, terutama Kantor Gubernur Aceh,” tegasnya.
Sepatutnya, kata Syarifuddin, dalam penguatan syariat Islam ada kearifan lokal yang dipertimbangkan oleh Pj Gubernur Aceh, bukan hanya sekedar mengeluarkan SE.
“Dari dulu, warkop di Aceh sudah dipahami sebagai ajang sosial (silaturahmi), menjadi simbol budaya dan ekonomi. Kedai kopi itu sebuah bentuk kehidupan di masyarakat Aceh, dan menjadi pusat silaturahmi dan informasi, karena banyak hal yang dibahas saat minum kopi,” lanjut Syarifuddin.
Warung Kopi Miliki Sosial Ekonomi
Sementara itu Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Syamsul Rijal menganggap warung kopi memiliki dimensi sosial dan ekonomi. Kata dia, budaya warung kopi sudah ada di Aceh sejak abad ke 18.
Terkait SE Pj Gubernur Aceh tentang pembatasan operasional warung kopi dan sejenisnya, agar menutup usahanya setelah pukul 24.00 WIB atau tengah malam adalah hal yang lumrah.
Menurutnya, SE tersebut merupakan bagian dari penguatan syariat Islam di Aceh. Kendati demikian, kata Syamsul Rijal, semestinya yang lebih diutamakan adalah edukasi kepada masyarakat perihal penegakan syariat Islam.
Misalnya, lanjut dia, meminta kepada pemilik Warkop untuk memberi warning atau pemberitahuan kepada pengunjung 15 menit menjelang waktu shalat tiba.
“Pengunjung diingatkan waktu shalat akan segera tiba. Namun masalahnya, siap nggak kita setiap waktu shalat tiba, kita bergegas untuk melaksanakannya,” sebutnya.
Menurutnya, hal seperti ini yang perlu diedukasi agar tertanam di hati masyarakat Aceh tentang pentingnya menjaga waktu shalat. Jika hal ini sudah dibiasakan, maka dengan sendirinya syariat Islam itu tegak dan berjalan dengan baik di Aceh. (*)