“Tak pernah bersinggungan, tokoh pers Sumatera Utara kelahiran Aceh ini fasih berkisah tentang sosok Adinegoro”
Wartawan tiga zaman itu kini terbaring lemah di kasur. Bicaranya agak sulit dimengerti karena gigi depan atas dan bawah sudah rumpang. Tapi, otot tangan lelaki 90 tahun itu tampak aktif bergerak. Dia adalah Muhammad Tok Wan Haria atau biasa disapa Muhammad TWH.
Dilawat Waspadaaceh.com di kediamannya Jalan Sei Alas Medan, Rabu siang (22/2/2023), semangat jurnalisme Muhammad TWH masih berkobar. Ia bahkan fasih bertutur tentang tambo pers perjuangan, juga sepotong cerita tokoh pers di zaman Kolonial sekelas Adinegoro.
Itulah mengapa kemudian Muhammad TWH menyulap rumahnya menjadi Museum Perjuangan Pers. Di dalam arteri tubuh lelaki bernama pena Muhammad TWH ini mengalir kuat darah jurnalis.
Banyak foto-foto tokoh pers dan dokumen (arsip) masa kolonial terjaga rapi di museum ini. Ada H.Mohammad Said dan Hj.Ani Idrus (pendiri Harian Waspada), Parada Harahap, Dja Endar Moeda, Tengkoe Fachruddin, Muhammad Samin, Adinegoro dan tokoh pers lain di masa lalu.
Nama tokoh terakhir itu (Adinegoro), diceritakan sepenggal oleh Muhammad TWH. “Nama aslinya Djamaluddin, tapi dia menggunakan nama karakter Jawa untuk nama penanya, Adinegoro. Nama Adinegoro ini yang membuatnya terkenal,” kenang wartawan veteran ini sambil tertawa.
Adinegoro sepuluh tahun menjadi Pemimpin Redaksi di koran Pewarta Deli, yaitu pada 1932-1942. Tapi Muhammad TWH tak pernah berinteraksi langsung meski Ia fasih menceritakan sosok Adinegoro selama menggawangi redaksional Pewarta Deli.
“Setahu saya Adinegoro itu datang ke Medan setelah menyelesaikan pendidikannya di Berlin, Jerman. Jadi setelah dari Jerman dia sebentar di Tanah Jawa, kemudian datang ke Medan untuk mempraktikkan ilmu jurnalistiknya,” kata Muhammad TWH bersemangat.
Menurut Muhammad TWH, ketika berangkat ke Jerman, Adinegoro menumpang kapal laut. Begitu juga ketika kembali dari Berlin, Jerman, ke tanah air (Indonesia), Adinegoro menumpang kapal laut.
Di kediamannya, TWH ditemani Faatir TWH dan Mufti TWH, cucunya. Tampak beberapa bilik (kamar) di rumah itu, bahkan hampir seluruh dinding dan meja di ruang tamu hingga kamar, dipenuhi dokumen-dokumen pers “Tempo Doeloe”. Dokumen itu copy-an dari dokumen berusia puluhan tahun hingga lebih satu abad. Bahkan di bagian dapur pun, foto-foto dan dokumen teks masih terlihat.
Museum ini, tampaknya jarang didatangi pengunjung. Beberapa foto dan dokumen masih perlu perawatan khusus. Begitu juga di bilik tempat Muhammad TWH berbaring, perlu sentuhan lebih baik. Maklum, biaya perawatan museum ini ditanggung sendiri oleh keluarga dan dari sumbangan pengunjung lewat kotak sumbangan yang tersedia.
Pada acara puncak peringatan Hari Pers Nasional (HPN), 9 Februari 2023, Muhammad TWH “diganjar” penghargaan Kepeloporan Pers. Penghargaan itu diserahkan di depan Presiden RI Joko Widodo oleh Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, kepada salah seorang anak TWH, di Gedung Serbaguna Provinsi Sumatera Utara di Medan.
“Saya baru mendapatkan penghargaan ini,” kata pria kelahiran Geudong Samudra Pasai, Aceh Utara, 15 November 1932 itu. TWH menunjukkan sebuah map berisi piagam penghargaan dari Dewan Pers atas jasanya di dunia pers sejak masa kolonial.
Muhammad TWH sumringah dan bangga meski reputasinya di dunia jurnalisme tak sehebat Djamaluddin, sisi lain tokoh pers Indonesia bernama pena Adinegoro yang masyhur itu.
Agaknya kalangan insan pers perlu juga mengunjungi sang wartawan veteran ini, Muhammad TWH, untuk menghiburnya. Kini sehari-hari tokoh pers ini hanya bisa berbaring di tempat tidurnya yang berada di salah salu bilik Museum Perjuangan Pers tersebut. Semoga. (*)
Waspada Aceh on TV